JAKARTA – Pemerintah melarang ekspor bauksit dalam tiga bulan ke depan. Larangan itu diterapkan seiring dengan rencana pemerintah mendorong hilirisasi industri logam dasar. Salah satunya mengolah bauksit menjadi aluminium, komoditas tambang yang lebih bernilai.
Selama 33 tahun terakhir ekspor bauksit mengalami pasang surut. Volume ekspor bauksit mencetak rekor tertinggi pada 2013, yaitu hingga 57 juta ton dengan nilai ekspor US$1.348 juta. Pada 2015-2016, Indonesia sempat menghentikan ekspor bauksit, tetapi membuka keran ekspor itu pada tahun berikutnya.
Datanesia menganalisis kebijakan ekspor bauksit di Indonesia. Posisi Indonesia sebagai negara pengekspor bauksit, cadangan bauksit global hingga implikasinya dengan perhitungan impor aluminium Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Sepanjang 2017-2021, Indonesia merupakan negara pengekspor bauksit terbesar kedua dunia, di bawah Australia. Selama tahun tersebut Indonesia mengekspor 65 juta bauksit. Semuanya diekspor ke China.
China merupakan pengimpor bauksit terbesar dunia. Sepanjang 2017-2021, negeri ini mengimpor 470 juta ton bauksit, berlipat-lipat lebih tinggi dari Ukraina di posisi kedua dengan volume impor 25 juta ton. Pada periode itu, China menyerap 74,3% bauksit di pasar ekspor.
Ironisnya, setiap tahun Indonesia mengekspor bauksit jutaan ton, tapi di saat yang sama Indonesia mengimpor aluminium atau bauksit yang telah diolah dalam jumlah ratusan ton dengan harga yang berkali-kali lipat lebih tinggi.
Pada 2022, bauksit Indonesia sebesar 17 juta ton diekspor ke China dengan nilai US$623 juta. Di tahun yang sama Indonesia mengimpor ‘hanya’ 724 ribu ton aluminium dengan nilai US$ 2,4 miliar. Ini berarti aluminium pada 2022 memiliki harga 9,5 kali lebih tinggi ketimbang harga bauksit.