Ringkasan Eksekutif
- Kota-kota pusat perdagangan tersebar di Jawa dan Sumatera. Di Jawa ada Sukabumi (Jawa Barat), Cirebon (Jawa Barat), Serang (Banten), Tegal (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), dan Pasuruan (Jawa Timur). Sementara kota-kota di Pulau Sumatera yang masuk daftar, yaitu Bukittinggi (Sumatera Barat), Langsa (Aceh) dan Pekanbaru (Riau).
- Kota-kota pusat perdagangan tidak selalu memiliki PDRB tinggi. Langsa misalnya, pada 2021 memiliki PDRB Rp5,7 triliun dan Mojokerto Rp6,9 triliun. Jauh tertinggal dari daerah-daerah lainnya.
- Kota-kota dengan PDRB perdagangan paling rendah tidak serta-merta miskin, tertinggal dan terpencil. Kota Bontang yang merupakan kantong manufaktur, dengan kontribusi sektor tersebut mencapai 84,4% terhadap PDRB, justru masuk dalam daftar kota terbawah dalam daftar pusat perdagangan. Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Mimika juga dalam daftar terbawah, namun memiliki PDRB lebih tinggi ketimbang kota pusat perdagangan.
- Kota-kota pusat perdagangan umumnya berdekatan dengan wilayah kabupaten/kota yang memiliki kawasan industri besar atau ditopang oleh infrastruktur transportasi seperti bandar udara dan pelabuhan. Kotakota itu juga biasanya memiliki lokasi strategis yang menghubungkan kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
- Hanya dua dari 10 kota pusat pertdagangan yang kinerja ekspor bersihnya positif. Ini menunjukkan bahw kota-kota pusat perdagangan lebih banyak mengandalkan barang dan jasa dari wilayah lain ketimbang dari kotanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan domestik.
- Kota Bukittinggi paling sejahtera di antara kota-kota pusat perdagangan. Hanya kota itu yang lulus untuk indikator pengeluaran per kapita, upah minimum, lama pendidikan, rasio lulusan perguruan tinggi, dan partisipasi kerja perempuan. Ukurannya adalah lebih baik dibandingkan rata-rata di provinsi acuannya. Untuk indikator angka harapan hidup, tingkat kemiskinan dan rasio gini, Bukittinggi juga lebih baik.
- Secara umum penduduk di kota yang menjadi pusat perdagangan lebih suka berbelanja ketimbang warga di kota kantong manufaktur. Indikator belanja non makanannya yang berada di atas provinsi acuan mengisyaratkan bahwa masyarakat di kota-kota perdagangan lebih potensial mengonsumsi barang selain makanan, dibandingkan kota lain di provinsi acuan. Mereka mampu menghabiskan pengeluarannya seperti untuk berwisata maupun membeli peralatanelektronik.