Pernikahan Menurun, Perceraian Justru Melonjak

JAKARTA — Di tengah turunnya angka pernikahan, kasus perceraian justru makin menanjak. Lima tahun terakhir, jumlah pernikahan turun 15%, dari 2,02 juta pada 2018 menjadi 1,71 juta (2022).

Seiring dengan itu, angka perceraian justru meningkat dari 408.202 menjadi 516.344 kasus. Pada tahun pertama pandemi, 2020, kasus perceraian memang sempat mereda, tapi kemudian kembali tancap gas pada 2021.

Bukan hanya jumlahnya, rasio perceraian dengan populasi penduduk juga meningkat. Dalam periode yang sama, rasio perceraian naik dari 1,55 menjadi 1,87 kasus untuk tiap 1.000 penduduk, atau tumbuh 21%.

Dibandingkan dengan populasi perempuan menikah, angka perceraian malah lebih mengkhawatirkan. Perceraian meningkat dari 5,2 menjadi 7,6 kasus untuk tiap 1.000 perempuan menikah, atau melonjak 43%, hanya dalam tempo lima tahun.

Rasio angka perceraian dengan populasi perempuan menikah dianggap lebih tepat dalam menggambarkan risiko perceraian ketimbang rasio perceraian dengan populasi penduduk.

Cermin perubahan

Meningkatnya angka perceraian mencerminkan perubahan ekonomi dan sosial.

Derasnya urbanisasi dan migrasi membuat banyak pasangan terpaksa tinggal terpisah. Suami hidup di kota, istri di desa, atau sebaliknya.

Bukan hanya terpisah antar-provinsi, bahkan antar-negara. Tak sedikit istri atau suami bekerja sebagai TKI di luar negeri meninggalkan pasangan, untuk jangka waktu yang cukup lama.

Bersamaan dengan itu, pemakaian media sosial tumbuh pesat. Kesempatan untuk bertemu lawan jenis, baik secara nyata maupun virtual makin terbuka luas. Pasokan “calon pasangan” kini melonjak dengan kecepatan yang mencengangkan.

Sementara itu, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja terus tumbuh. Banyaknya perempuan yang bekerja membuat mereka lebih mandiri secara finansial, sehingga lebih berani mengambil keputusan.

Para perempuan kini juga lebih berpendidikan, lebih memahami dan menyadari hak-hak perkawinan. Tak mengherankan kalau pola perceraian juga berubah.

Jika empat atau tiga dekade lalu perceraian seperti menjadi hak eksklusif laki-laki. Cerai talak atas kemauan suami lebih lazim ketimbang cerai gugat atas kehendak istri.

Namun belakangan, cerai gugat terus meningkat. Jumlah cerai gugat naik dari 300.993 kasus pada 2018 menjadi 388.358 lima tahun kemudian. Kasus cerai atas kehendak istri kini tiga kali lipat dari cerai talak atas permintaan suami.

Tampaknya, kita telah beralih dari masyarakat konservatif tradisional menjadi masyarakat transisi, ketika para perempuan ikut memegang peranan dalam pengambilan keputusan keluarga.

Rumah tangga Indonesia juga makin bergeser ke keluarga inti, pengaruh keluarga besar makin menipis. Pasangan kini lebih banyak menikah karena cinta, bukan lantaran permintaan keluarga. Pernikahan telah berubah dari keputusan kolektif (keluarga), menjadi pilihan individu.

Tingkat kemakmuran yang kian membaik agaknya ikut memudahkan sebagian orang untuk memilih hidup sendiri. Tak ada lagi insentif untuk menikah demi menyatukan penghasilan istri dan suami.

Investasi di Tahun Politik

Artikel sebelumnya

Kabupaten/Kota Bidikan Investor

Artikel selanjutnya

Baca Juga