Mengapa Janji Tax Ratio 23% Hanya Angan-Angan

JAKARTA — Janji pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menggenjot rasio pajak menjadi 23% agaknya bakal berakhir seperti banyak janji kampanye lain: hanya jadi iming-iming manis alias angan-angan atau omon-omon belaka.

Ratio perpajakan setinggi itu mustahil dapat ditunaikan. Sampai pemerintahan baru berakhir tahun 2029, tax ratio diperkirakan masih akan sulit melampaui 15%.

Rasio perpajakan merujuk pada kemampuan pemerintah menghimpun pajak secara relatif terhadap produk domestik bruto (PDB). Bersama sejumlah indikator lain, tax ratio kerap digunakan untuk mengukur seberapa baik pemerintah mengarahkan sumber daya ekonomi melalui perpajakan. Negara-negara maju biasanya memiliki rasio perpajakan yang lebih tinggi ketimbang negara berkembang.

Dengan penerimaan pajak yang lebih tinggi, negara dapat membelanjakan lebih banyak uang untuk meningkatkan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Intinya, penerimaan pajak merupakan kunci prospek perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

Sejauh ini, ada banyak cara menghitung tax ratio. Sejumlah negara dan lembaga di dunia ikut memperhitungkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam (minyak, gas, dan pertambangan umum) sebagai komponen dari penerimaan pajak.

Namun artikel ini merujuk pada kalkulasi Kementerian Keuangan yang hanya memasukkan penerimaan pajak pusat (tak termasuk pajak daerah dan PNBP) sebagai angka pembilang dalam ratio perpajakan.

Tak pernah lampaui 15%

Sejak indikator ini diukur pada awal pemerintahan Orde Baru, tax ratio Indonesia tak pernah melampaui 15%. Padahal, menurut Bank Dunia, rasio perpajakan 15% merupakan ambang batas minimal agar suatu negara dapat bertahan pada jalur menuju pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan.

Puncak tax ratio Indonesia dalam dua dasa warsa terakhir tercapai pada 2008 dengan 12,5%. Sejak 2012, rasio perpajakan terus melorot hingga tinggal 8,33% pada 2020 (tahun pertama pandemi).

Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang digelar pada 2016, tak mampu medongkrak rasio perpajakan. Ketika itu, tax ratio malah turun dari 10,76% pada 2015 menjadi 10,36%.

Di atas kertas, penerimaan pajak akan tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Tax ratio akan turun jika penerimaan pajak tak mampu mengimbangi kinerja perekonomian secara umum. Turunnya tax ratio selama 2013 – 2020 memberi indikasi adanya potensi pajak yang menguap, tidak tertagih.

Jurus reformasi pajak

Untuk meningkatkan tax ratio, penerimaan pajak harus digenjot agar tumbuh lebih kencang dari kinerja perekonomian. Di banyak negara, juga di Indonesia, ini ditempuh dengan reformasi pajak.

Reformasi pajak telah kita mulai sejak 1983 dengan memperkenalkan prinsip self assessment, penyederhanaan dan penurunan tarif PPh, serta pemberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebagai pengganti PPn (Pajak Penjualan).

Reformasi pajak dilanjutkan beberapa tahun kemudian dengan mengubah undang-undang. Dalam reformasi lanjutan ini, tarif PPh kembali diturunkan dan mulai diperkenalkan PPh Final. Selain itu, pajak daerah, retribusi daerah, dan PNBP mulai ditata.

Melalui ikhtiar reformasi pajak, penerimaan pajak memang naik, tapi lajunya tak selalu dapat mengimbangi atau melampaui pertumbuhan ekonomi. Selama 20 tahun terakhir, hanya ada separuh periode ketika pertumbuhan pemerimaan pajak melebihi pertumbuhan ekonomi.

Hanya dalam dua tahun terakhir, 2021 dan 2022, berkat lonjakan harga komoditas ekspior kelapa sawit dan batu bara, penerimaan pajak melesat lebih dari 2x kinerja perekonomian.

Angan-angan alias omon-omon

Andai saja, dalam lima tahun ke depan, perekonomian dapat digenjot habis-habisan hingga tumbuh ajeg 7% per tahun, dan penerimaan pajak dapat digeber hingga 2x kinerja perekonomian, maka pada akhir pemerintahan baru tahun 2029 kelak, tax ratio baru akan sampai pada angka 14,25%.

Ini masih sangat jauh dari janji 23% yang dicanangkan pasangan Prabowo – Gibran. Bahkan, masih di bawah ambang kritis yang ditetapkan oleh Bank Dunia agar negara kita berada pada jalur pertumbuhan.

Sekali lagi, itu hasil simulasi dengan skenario sangat optimistik, ketika ekonomi selalu tumbuh 7% per tahun, dan laju penerimaan pajak 2x kinerja perekonomian – hal yang belum pernah kita alami.

Jika skenarionya rasional, misalnya ekonomi tumbuh 5,5% dan pertumbuhan penerimaan pajak rata-rata 1,3x perekonomian, maka tax ratio pada 2029 akan mencapai 11.22%.

Dengan gambaran kalkulasi tersebut, janji kampanye Prabowo-Gibran untuk mendongkrak tax ratio 23%, agaknya hanya sekadar omon-omon.

Telah Tiba: Era Transaksi Via Mata Uang Lokal

Artikel sebelumnya

Utang Jatuh Tempo Menanti Presiden Baru

Artikel selanjutnya

Baca Juga