JAKARTA – Badan Energi Internasional (IEA) mencatat: tahun 2022 memecahkan rekor tertinggi emisi karbon dioksida sejak pencatatan yang dimulai pada tahun 1990. Emisi gas rumah kaca dari produksi energi tumbuh 0,9%, menjadi 36,8 gigaton. Sementara emisi karbon dioksida dari batu bara tumbuh 1,6%.
Sebagai sumber energi, gas alam melepaskan emisi karbon dioksida paling rendah dibandingkan bahan bakar fosil lainnya. Sehingga gas alam kerap dipilih sebagai substitusi batu bara dalam transisi energi, sebelum sepenuhnya menggunakan energi baru terbarukan.
Kenyataannya, penggunaan bahan bakar fosil terus tumbuh. Bahkan menurut Dana Moneter Internasional (IMF), nilai subsidi bahan bakar fosil global mencetak rekor terbaru, yakin mencapai US$7 triliun pada 2022, naik 18% dibanding 2021.
Produksi gas alam dalam negeri (termasuk turunannya yaitu LNG dan LPG) pada 2022 mencapai 364 juta barel setara minyak (BOE) atau 11,9 % dari total produksi energi domestik. Produksi ini masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan produksi batu bara yang mencapai 2,3 miliar barel setara minyak atau 61% dari total produksi domestik.
Dari sisi penggunaan domestik, pemanfaatan gas alam dan turunannya masih terbilang rendah. Pada tahun lalu hanya 322 juta barel setara minyak atau 13,2% dari total pemanfaatan energi. Sedangkan turunannya, yakni LNG sebanyak 938 ribu barel setara minyak atau 0,03% dan LPG sebanyak 72 juta barel setara minyak atau 3,1%.
Rencana transisi energi di Indonesia melalui subtitusi batu bara dengan gas alam tampaknya akan menempuh jalan berliku. Pasalnya, produksi gas alam terus menyusut setiap tahun. Pada 2013 misalnya, produksi gas alam mencapai 2,7 juta MMSCF, kemudian susut menjadi 2,0 juta MMSCF dalam 10 tahun.
Produksi LPG atau gas minyak cair di dalam negeri cenderung stagnan selama 10 tahun terakhir. Padahal, penggunaan domestiknya terus tumbuh setiap tahun. Pada tahun lalu, penggunaan domestik mencapai 8,6 juta ton. Konsumsi domestik ini banyak disuplai dari impor LPG yang tumbuh 104,2% dalam kurun 2013- 2022. Pada tahun lalu, impor LPG mencapai 6,7 juta ton.
Pada 2022, nilai impor elpiji mengalami lonjakan hingga empat kali lipat dari tahun sebelumnya, menjadi Rp238 triliun. Padahal pertumbuhan volume dari impornya hanya 618 ribu ton. Lonjakan ini merupakan dampak dari melambungnya harga-harga komoditas pasca serangan Rusia ke Ukraina.
Dari keseluruhan subsidi, elpiji (LPG) ukuran 3 kilogram memperoleh porsi subsidi terbesar, yaitu 39,7% atau senilai Rp100,4 triliun. Nilai dan porsi ini merupakan subsidi elpiji tertinggi, sekaligus subsidi energi terbesar selama 22 tahun terakhir.
Download Report – Gas Alam Dalam Transisi Energi Indonesia