JAKARTA – Di tengah lesunya harga komoditas pertambangan, kinerja sektor tersebut justru tumbuh positif. Bahkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikannya pada 2023 merupakan yang tertinggi dalam 27 tahun terakhir atau sejak 1997. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional pun masih besar, yakni 10,5% pada tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari tingginya animo investor untuk membenamkan modalnya di kegiatan eksplotasi sumberdaya alam dalam beberapa tahun terakhir.
Tingginya kucuran modal di pertambangan, membuat daya serap tenaga kerja di sektor tersebut makin berotot. Pada Agustus 2023 misalnya, daya serapnya tumbuh 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi ketiga -di antara 17 sektor usaha- setelah lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum (12,3%) serta konstruksi (9,1%).
Kenaikan investasi di sektor pertambangan disumbangkan oleh investor dalam negeri, yang pada 2023, realisasinya tumbuh 38,7%, menjadi Rp86,7 triliun. Ini merupakan nilai tertinggi dalam sejarah penanaman modal dalam negeri yang digelontorkan untuk sektor pertambangan.
Sebaliknya terjadi pada investasi asing di sektor pertambangan, yang justru menyusut 8,4%, dari US$5,1 miliar menjadi US$4,7 miliar pada tahun lalu. Meski terkikis, realisasi investasi asing di sektor ini merupakan yang tertinggi kedua sepanjang 2014-2023.
Dari kelompok sektor primer, dana yang dibenamkan oleh para pemilik modal sebagian besar ke sektor pertambangan. Dalam lima tahun terakhir (2019-2023) misalnya, porsi kucuran dana penanaman modal asing atau PMA yang mengalir ke sektor primer, jatah pertambangan rata-rata 70,2% per tahun.
Lima kabupaten dengan realisasi penanaman modal asing terbesar untuk sektor pertambangan selama periode 2019-2023 secara kumulatif: Mimika (US$4,8 miliar), Gresik (US$3,4 miliar), Kutai Timur (US$841 juta), Luwu Timur (US$802), dan Mandailing Natal (US$667 juta).
Lima kabupaten dengan realisasi penanaman modal dalam negeri terbesar untuk sektor pertambangan dalam periode 2019-2023 secara kumulatif: Sumbawa Barat (Rp26,0 triliun), Kutai Kartanegara (Rp24,8 triliun), Tanah Bumbu (Rp7,5 triliun), Berau (Rp7,1 triliun), dan Kutai Timur (Rp7,0 triliun).
Pertumbuhan ekonomi di kabupaten dengan realisasi investasi pertambangan tertinggi tak selalu lebih baik dibandingkan kinerja provinsi acuannya. Dari sembilan kabupaten yang masuk dalam daftar, kinerja perekonomiannya justru tidak stabil, bahkan banyak yang menyusut. Setidaknya jika dilihat dalam rentang waktu lima tahun terakhir (2018- 2022).
Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) per kapita di tujuh kabupaten dengan investasi pertambangan tertinggi, lebih besar ketimbang rata-rata di provinsi acuannya. Mimika misalnya, rata-rata PDRB per kapita mencapai Rp300 juta per orang/ tahun dalam kurun waktu 2018-2022. Sedangkan rata-rata di Provinsi Papua -sejak 2022 Mimika masuk Provinsi Papua Tengah- yang Rp56 juta.
Mandailing Natal dan Tanah Bumbu tercatat menjadi wilayah dengan PDRB terendah dibandingkan sembilan kabupaten yang masuk dalam daftar penyerap investasi sektor pertambangan tertinggi.
Tingkat kemiskinan di kabupaten dengan investasi pertambangan tertinggi ternyata tidak rendah. Dari sembilan kabupaten yang masuk dalam daftar, lima di antaranya menyimpan tingkat kemiskinan lebih tinggi dari pada provinsi acuannya selama periode 2019-2023.
Dari sembilan kabupaten dengan realisasi investasi sektor pertambangan terbesar, tingkat penganggurannya masih banyak yang tinggi. Bahkan di Kabupaten Mimika, Gresik, dan Tanah Bumbu selama periode 2018-2022, tingkat penganggurannya selalu lebih tinggi dari provinsi acuan. Rata-rata tingkat pengangguran di Mimika sepanjang periode itu 6,9% per tahun, Gresik 7,0% dan Tanah Bumbu 6,6%.
Download Report – Catatan Merah Wilayah Tambang