JAKARTA — Pro-kontra kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tambah panas, bahkan di antara pejabat pemerintah.
Menteri Keuangan bersikeras, kenaikan tarif pajak dari 11% menjadi 12% itu harus dilaksanakan sesuai perintah Undang-Undang. Namun Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan belakangan menyatakan kebijakan tersebut, “Hampir pasti diundur.”
Pemerintah agaknya mulai merespon protes publik soal rencana kenaikan tarif pajak ini. Kenaikan tarif PPN dinilai akan memberatkan beban biaya hidup dan melemahkan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi mesin terbesar ekonomi.
PPN merupakan pajak konsumsi dan dipungut setiap kali ada transaksi. Makin banyak konsumsi makin banyak kena PPN.
Masyarakat miskin yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi akan lebih terbebani kenaikan tarif PPN ketimbang kelompok kaya yang lebih banyak menabung atau investasi.
Sumbangan besar
Statistik mencatat, sumbangan PPN terhadap keuangan negara terus meningkat. Selama hampir seperempat abad terakhir, kontribusi PPN pada penerimaan negara berlipat dari 17 persen (tahun 2000) menjadi 29 persen (APBN 2024).
Tahun lalu, penerimaan PPN mencapai Rp764 triliun atau 35 persen dari total penerimaan perpajakan.
Dibandingkan dengan pajak penghasilan (PPh), peran PPN memang kalah dominan. Tahun lalu, PPh menyetor Rp1.061 triliun atau 1,4 kali dari setoran PPN.
Namun, jika dihitung porsinya, sumbangan PPh terhadap penerimaan perpajakan cenderung mandeg, sedangkan porsi PPN terus tumbuh membesar.
Menurut perhitungan Kementerian Keuangan, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, akan meningkatkan setoran PPN tahun depan menjadi Rp945 triliun, naik 17 persen dari penerimaan PPN pada APBN tahun berjalan.
Penerimaan negara dari PPN terbilang lebih pasti, pengawasannya lebih mudah, dan, ini penting: tingkat kebocorannya rendah.
PPN dipungut setiap kali terjadi transaksi barang atau jasa yang kena pajak, tak seperti PPh yang besarannya dipengaruhi penghasilan dan keuntungan wajib pajak.
PPN akan terus mengalir selama ada aktivitas ekonomi, tanpa memperhitungkan untung-rugi wajib pajak.
Barang kena PPN
Tak semua barang dan jasa akan terkena PPN. Dalam rapat kerja dengan DPR pertengahan November lalu, Menteri Keuangan mencontohkan, kelompok barang/jasa seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, serta transportasi termasuk yang PPN-nya dibebaskan.
Daftar lengkap barang dan jasa bebas PPN serta ketentuannya, tercantum rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 2022.
Sejumlah kelompok barang yang terimbas kenaikan tarif PPN misalnya pakaian, sepatu, tas; barang perawatan tubuh dan kecantikan seperti sabun, shampoo, dan lipstick; peralatan rumah tangga dan elektronik seperti kulkas, mesin cuci, telepon seluler, laptop, komputer, furnitur; serta motor, mobil, rumah, dan apartemen.