JAKARTA – Hilirisasi nikel kerap menjadi cerita sukses yang terus diulang. Presiden Joko Widodo misalnya, terus menyebut bahwa hilirisasi nikel memberikan nilai tambah ekspor hingga lebih dari 26 kali lipat. Nikel yang telah diolah menjadi matte dan ferronikel bernilai jauh lebih tinggi ketimbang bijih nikel di pasar global.
Namun kisah sukses itu bisa jadi tidak untuk selamanya. Seperti komoditas lain, nikel juga tidak lepas dari dinamika naik turunnya harga. Dalam lima tahun terakhir, harga nikel mencapai puncak tertingginya pada 3 Juli 2022. Ketika harga nikel per ton di Bursa Logam London mencapai US$42.995 per ton. Sayangnya setelah itu terjadi tren penurunan. Empat bulan kemudian, harganya turun 55%, menjadi US$19.100 per ton nikel.
Harga ini sempat naik menjadi US$31.200 pada Januari 2023, namun setelah itu merosot kembali. Pada 26 Januari 2024, harga nikel bertengger di posisi US$16.535 per ton. Angka ini masih lebih tinggi ketimbang pada Maret 2020 yang hanya US$ 11.075.
Menjelang Pemilu 14 Februari 2024, nikel dan hilirisasinya tak luput dari jadi pembahasan politik dan ekonomi. Isu-isu yang beredar di masyarakat, antara lain harga nikel turun karena tingginya produksi nikel dalam negeri di pasar global. Ada pula yang menyebut harga turun karena kalah pamor dengan lithium ferro phospat (LFP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Tapi yang jelas, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa Indonesia sedang kebanjiran smelter yang tentunya membutuhkan bahan baku hasil tambang tersebut. Pada Juni 2022 misalnya, jumlah smelter ada 29 unit, yang terdiri dari 27 pabrik dengan teknologi pirometalurgi dan 2 pabrik dengan teknologi hidrometalurgi. Pada saat itu, masih ada 22 smelter yang dalam tahap konstruksi dan 17 smelter nikel yang sedang dalam tahap perencanaan.