JAKARTA — Mulai pekan lalu, India menyetop ekspor semua jenis beras putih, kecuali basmati. Kebijakan ini diambil untuk mengamankan pasokan sekaligus mengendalikan harga di pasar domestik yang cenderung terus menanjak akibat banjir besar dan cuaca yang tak menentu.
Jika kebijakan ini dapat mendinginkan pasar lokal India, tak demikian halnya dengan pasar global. India merupakan pengekspor beras terbesar di dunia. Sekitar 40% beras di pasar internasional berasal dari negeri ini.
Larangan ekspor India berpotensi menekan pasokan di pasar internasional serta memicu kekhawatiran soal keamanan pangan. Akibatnya, harga sulit dijinakkan.
Begitu larangan ekspor diumumkan, harga beras pecah 5% Thailand yang jadi patokan di pasar Asia langsung melonjak tujuh persen menjadi US$572 per ton. Ini merupakan harga termahal sejak April 2020. Beras pecah 5% Vietnam juga naik menjadi US$515 per ton, tertinggi sejak 2011.
Wabah menular
Agaknya, bukan kelangkaan itu yang langsung mengerek harga, tapi kecemasan atas kelangkaan. Sebelum beras benar-benar langka, para pemain (produsen, konsumen, juga pedagang) sudah ramai-ramai memborong, menahan, dan menimbun beras.
Negara-negara konsumen berebut ingin mengamankan pasokan karena kelangkaan beras dapat memicu gejolak politik. Masyarakat (para pemilik suara dalam pemilu) yang kelaparan, mudah sekali mengancam stabilitas.
Kecemasan makin meruncing lantaran bahaya kekeringan yang kini dibawa El-Nino membuka kemungkinan larangan ekspor akan menjadi semacam wabah yang menular ke negara lain.
Tahun 2008, ketika pemerintah Vietnam menyetop ekspor beras, negara-negara lain seperti India, Cina, dan Kamboja akhirnya juga mengambil kebijakan serupa. Sebuah studi Bank Dunia memperkirakan, pembatasan ekspor kala itu meningkatkan harga beras dunia hingga 52%.
Itu sebabnya, dalam beberapa bulan terakhir, Cina mengimpor beras besar-besaran dari Vietnam. Begitu juga Indonesia.
Sejak akhir 2022 Indonesia telah mengimpor 500.000 ton dengan opsi tambahan 500.000 ton lagi, jika stuasi mendesak. Padahal, selama 2019 – 2021 Indonesia telah mendapatkan sertifikat swasembada beras dari International Rice Research Institute.
Harga beras bakal melonjak?
Apakah ancaman kelangkaan di pasar global akan mendongkrak harga beras di pasar domestik Indonesia? Jika bercermin pada data, harga beras di pasar lokal cenderung kebal dari gejolak di pasar internasional.
Periode akhir Maret sampai akhir April 2023, misalnya. Saat itu, harga beras di pasar internasional naik hampir 10% dari US$16 menjadi US$17,5 per cwt (100 pounds). Namun harga beras di pasar lokal malah turun dari Rp11.800 menjadi Rp11.750 per kg.
Meski demikian, kekebalan harga beras di pasar lokal terhadap gejolak internasional akan sangat bergantung kepada keberhasilan panen dan stok di gudang Bulog.
Menurut direksi Bulog, hingga akhir Juli stok beras Bulog tinggal tersisa 750.000 ton. Ini hampir separuh dari “stok normal” yang biasanya 1,2 juta ton.
Namun Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menegaskan bahwa stok beras kita aman. Juli lalu, kata Pak Menteri, ada panen padi dari 800.000 Ha sawah. Begitu pula pada Agustus ini.
Meski demikian, Menteri Yasin Limpo mengakui, kita tak boleh terlampau percaya diri. Ada ancaman El-Nino yang sewaktu-waktu dapat menjungkalkan itung-itungan matematis di atas kertas.
Untuk berjaga-jaga, pemerintah telah menugaskan Bulog untuk mencari tambahan impor (lagi) hingga satu juta ton sebagai bumper – termasuk dari India.
Meski melarang ekspor, India memang masih membuka pintu bagi negara-negara yang sangat membutuhkan, melalui lobby antarpemerintah. Ini tentu tak semudah, dan secepat, membeli beras di pasar komersial. Perlu diplomasi yang makan waktu.
Di atas semua keruwetan itu, ada satu faktor yang bisa membuat kita, konsumen, merasa ayem. Tahun depan tahun politik. Ada pemilihan presiden dan parlemen. Pemerintah yang berusaha membuat perut pemilik-suara kenyang, tentu akan menangkal kenaikan harga beras. Dengan cara apapun.