JAKARTA – Selama empat tahun terakhir, setiap tahun pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT). Namun, target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun ini diprediksi tidak mencapai target. Bayangkan, hingga Agustus 2023, realisasinya Rp126,8 triliun atau 54,5% dari target yang sebesar Rp232,6 triliun. Pencapaian itu jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu, yang hingga Agustus 2022 sudah mencapai 64,1% dari target.
Rendahnya realisasi penerimaan CHT tahun ini diduga akibat fenomena downtrading atau peralihan konsumsi ke rokok yang lebih murah. Rokok dengan harga jual lebih murah biasanya merupakan rokok dengan golongan cukai yang lebih rendah. Pergeseran ini merupakan dampak dari kenaikan harga lantaran cukainya bertambah terus.
Kinerja industri pengolahan hasil tembakau sempat mengalami kontraksi yang cukup kuat, yaitu pada tahun pandemi. Tepatnya pada periode Juni 2020- Juni 2021, ketika pertumbuhannya di bawah nol persen. Pada Juni 2020, penyusutannya mencapai 10,84%. Kemudian, Juni 2022 hingga Maret 2023, industri pengolahan hasil tembakau kembali terkontraksi.
Pada Juni 2023, produk domestik bruto dari industri pengolahan hasil tembakau (harga berlaku) mencapai sebesar Rp34,3 triliun. Pada kuartal kedua tahun ini pula, sektor tersebut tumbuh pesat secara triwulanan, yaitu 2,51% dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus 7,26%. Pertumbuhan ini terbilang anomali. Ketika industri hasil tembakau tumbuh positif, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) justru sebaliknya: turun.
Perburuan cukai hasil tembakau yang terus ngebut membuat lonjakan harga jual eceran di tingkat konsumen tak terhindarkan. Akibatnya, para pecandu rokok beralih ke harga yang lebih murah. Fenomena downtrading inilah tampaknya yang memberikan andil pada rendahnya realisasi penerimaan negara pada tahun ini. Konsumsi rokok kelas dua makin banyak seiring dengan tak terjangkaunya harga rokok-rokok kelas satu.
Fenomena beban harga pada setiap batang rokok terlihat pada rasio tarif cukai terhadap harga jual. Untuk jenis SPM Golongan I misalnya, mengalami kenaikan rasio dari 52,2% pada 2020 menjadi 55,1% pada 2022. Sementara untuk SKT yang cukainya lebih murah, rasio tarif cukai terhadap harga jual eceran terendahnya menurun. Untuk Golongan I misalnya, dari 29,1% pada 2020 turun menjadi 26,9% pada 2021 dan 25,6% di 2022.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan konsumsi hanya terjadi pada rokok putih. Namun untuk rokok kretek yang harganya lebih rendah, justru bertambah. Dengan begitu, tujuan kebijakan kenaikan cukai demi kesehatan nyaris tidak tercapai. Bahkan kebijakan tersebut cenderung meningkatkan konsumsi rokok ilegal yang dibuktikan dengan diluncurkannya operasi gempur rokok ilegal oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pada Maret 2021, kontribusi rokok kretek filter terhadap kemiskinan di kota sebesar 11,9%, naik menjadi 12,21% pada 2022. Pada tahun ini kontribusinya turun tipis menjadi 12,14%, tetapi masih lebih tinggi dari 2021. Senada dengan di kota, kontribusi rokok kretek filter terhadap kemiskinan di perdesaan sebesar 11,24% pada Maret 2021, naik menjadi 11,63% pada tahun berikutnya. Kemudian turun tipis menjadi 11,34% pada tahun ini.
Kontribusi CHT bagi penerimaan negara selama 2055-2022 cenderung dinamis, kadang naik, kadang turun, tetapi secara umum trennya meningkat. Sejak 2015, kontribusi CHT bagi penerimaan negara tak pernah kurang dari 7,8%. Pada 2020, ketika CHT dinaikkan menjadi 23%, kontribusinya terhadap penerimaan negara mencetak rekor tertinggi dalam 17 tahun terakhir, yaitu sebesar 10,3%.
Download Report – Waswas Target Cukai Rokok