JAKARTA – Dalam laporan bertajuk “World Economic Outlook – Steady but Slow: Resilience amid Divergence” April 2024, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang di kawasan Asia hanya 4,5 persen pada 2029, melambat dari 5,6 persen pada 2023. Kinerja ekonomi Indonesia diperkirakan sedikit lebih beruntung, yakni tumbuh 5,1 persen pada 2029.
Sebelum publikasi IMF terbit, Presiden Prabowo Subianto -ketika itu masih kandidat dalam Pemilihan Umum Presiden- terus mendengungkan janji pertumbuhan ekonomi Indonesia 8 persen sebagai puncak pencapaian pemerintahannya.
Visi dan misi Prabowo yang tertuang dalam Asta Cita menegaskan, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, mulai tahun 2025 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di angka 6-7 persen. Setelah terpilih, janji kampanye itu dipertebal lagi. Presiden Prabowo optimistis pertumbuhan ekonomi 8 persen dapat tercapai.
Mampukah perekonomian Indonesia tumbuh 8 persen?
Jika merujuk pada catatan sejarah, perekonomian Indonesia pernah lima kali tumbuh di atas 8 persen.
Tahun 1968. Pertumbuhan ekonomi mencapai 10,9 persen. Inilah pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam sejarah sampai sekarang. Pertumbuhan tinggi ini ditopang sektor pertamban-gan dan penggalian yang tumbuh 36,5 persen.
Meski tumbuh paling pesat, kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian hanya 24,2 persen, di bawah sektor pertanian yang 37 persen.
Melonjaknya sektor pertambangan ini tak lepas dari kebijakan pemerintah membuka diri terhadap penanaman modal asing. Pada 1967, Presiden Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua. Freeport merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama di Tanah Air.
Tahun 1973. Pertumbuhan ekonomi mencapai 8,1 persen. Periode ini terjadi menjelang berakhirnya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1 tahun 1969-1974. Pada periode ini, pemerintah memprioritaskan sektor pertanian dan industri pertanian.
Masuknya perusahaan pertambangan ikut memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian. Setelah Freeport, beberapa perusahaan tambang asing masuk melalui kontrak karya, di antaranya ALCOA, Billton Mij, INCO, Kennecott, dan US Steel.
Sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 22 persen. Kontribusinya terhadap perekonomian pun paling besar, yakni 37,3 persen, menyalip sektor pertanian.
Tahun 1977. Pertumbuhan ekonomi mencapai 8,8 persen. Pertumbuhan ini terjadi pada masa Repelita II (1969-1979) yang mulai menggenjot industrialisasi.
Pemerintah Orde Baru membangun beberapa industri strategis ketika pemerintah memiliki dana berlebih berkat bonanza minyak bumi. Pemerintah membangun industri substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Pemerintah juga mengembangkan industri dasar, seperti besi dan baja, serta petrokimia. Modal asing mulai masuk pada industri manufaktur sehingga sektor ini mencatatkan pertumbuhan terbesar 13,7 persen, meski kontribusinya terhadap PDB baru 9,7 persen, masih di bawah sektor pertambangan dan pertanian.
Tahun 1980. Pertumbuhan ekonomi 9,9 persen, yakni di masa Repelita III (1979-1984) ketika industrialisasi dinyatakan sebagai tujuan dan faktor utama perkembangan ekonomi.
Saat itu, industri pengolahan tumbuh paling pesat: 22,17 persen. Inilah pertumbuhan tertinggi industri pengolahan dalam sejarah. Namun kontribusinya terhadap perekonomian hanya 12,5 persen, di bawah pertambangan (28,1 persen) dan pertanian (23,6 persen).
Selain fokus pada industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi, pemerintah mencanangkan swasembada pangan yang berlanjut pada Repelita IV (1984-1989). Sektor pertanian pun memimpin kontribusi terhadap PDB pada 1983-1990.
Tahun 1995. Pertumbuhan ekonomi 8,2 persen. Periode ini terjadi ketika masa Repelita VI yang dimulai pada 1994.
Pertumbuhan ekonomi ditopang sektor industri pengolahan yang tumbuh sebesar 10,9 persen. Industri pengolahan juga berkontribusi besar terhadap perekonomian, sekitar 21,9 persen.
Tren kontribusi besar industri pengolahan terhadap perekonomian itu terus berlanjut setelah era reformasi sampai sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.
Garis merah dalam grafik di atas menunjukkan proyeksi ekonomi, dengan asumsi tak ada perubahan besar dari sisi kebijakan pemerintah maupun pengaruh eksternal (business as usual).
Untuk menyusun proyeksi ini, Datanesia melakukan pendekatan Hodric Prescott (HP) Filter, yang mengacu pada tren dari data kinerja ekonomi dalam rentang waktu 1961-2023.
Sementara itu, garis biru merupakan skenario pertumbuhan ekonomi 8 persen. Skenario ini disusun tetap dengan menggunakan pola tren masa lalu, namun disertai dengan langkah-langkah besar (bold move) terutama dari sisi peningkatan inovasi, modal, serta kebijakan pemerintah.
Pertumbuhan naik secara bertahap, dengan batasan: tak tumbuh lebih dari dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan periode 2014-2023.
Dengan kebijakan yang mendorong sejumlah sektor andalan yang memiliki daya ungkit besar terhadap perekonomian, seperti industri pengolahan, perdagangan, pertanian dan konstruksi, cita-cita tumbuh 8 persen, bukan hal yang mustahil.
Realisasi dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1961-2029
Simulasi Datanesia menunjukkan, skenario pertumbuhan 8 persen dapat dicapai jika sejumlah sektor yang memiliki daya ungkit tinggi bagi perekonomian, seperti industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan dapat terus didorong dan dikembangkan. Selain sumbangannya yang besar terhadap PDB, sektor-sektor ini merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Simulasi Datanesia juga mengidentifikasi sejumlah sektor yang sudah tumbuh tinggi, seperti sektor informasi dan komunikasi, sektor transportasi dan pergudangan. Sektor-sektor ini perlu dijaga agar tidak terjadi overheating.
Pertumbuhan 8 persen memerlukan dukungan kinerja ekstra dari lembaga dan kementerian. Pembentukan Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus dapat menjadi dirigen untuk menggenjot mesin perekonomian bergerak lebih cepat dan efisien.
Pertumbuhan di atas 8 persen bukan hanya milik negara berkembang. Nyatanya, ada negara dengan PDB per kapita di atas di atas US$11,9 ribu per tahun dengan pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen. Irlandia, Makao, Malta, Guyana, Seychelles dan Maladewa yang PDB-nya di atas Indonesia dan ekonominya tumbuh tinggi selama sepuluh tahun terakhir.
Download Report – Skenario 8 Persen