JAKARTA – Tingkat kesejahteraan buruh, setidaknya diperlihatkan oleh pendapatan atau upah. Jika dilihat secara nominal, yang terima oleh buruh tani maupun buruh bangunan memang terus tumbuh selama tiga tahun terakhir. Persoalannya, harga barang yang dikonsumsi naik lebih cepat, sehingga upah riil yang diterima terus menyusut.
Upah riil buruh tani pada Desember 2022 sebesar Rp51.453 per hari, tidak lebih baik dari pada kondisi Januari 2020 yang Rp52.360 per hari. Daya beli petani yang diukur dari upah riil justru makin sedikit. Padahal, upah nominalnya meningkat dari Rp55.046 pada Januari 2020 menjadi Rp59.226 di Desember 2022.
Begitu pula dengan upah buruh bangunan. Pada Desember 2022, upah riilnya sebesar Rp82.762 per hari, tidak lebih besar dibandingkan Januari 2020 yang mencapai Rp85.764 per hari. Padahal, upah nominal buruh bangunan meningkat dari Rp89.478 pada Januari 2020 menjadi Rp94.072
pada Desember 2022.
Disparitas antara upah nominal dan upah riil ini ini bisa mendorong lebih banyak buruh tani dan buruh bangunan ke dalam kemiskinan. Daya jangkaunya terhadap kebutuhan pokok kian lemah.
Realisasi Rata-rata Upah Lebih Rendah dari UMP
Upah minimum provinsi (UMP) ternyata tidak selalu dipatuhi oleh para pelaku usaha. Pada 2022, ada 11 provinsi yang realisasi rata-rata upah buruhnya lebih rendah dari upah minimum provinsi.
Aceh misalnya, dari UMP sebesar Rp3.166.460 per bulan, ada simpangan upah sebesar -26,48%. Sebab, rata-rata realisasi upah di provinsi ini sebesar Rp2.327.990.
Lalu ada Sumatera Selatan dengan UMP Rp 3.144.446 per bulan. Daerah ini memiliki simpangan upah sebesar -16,34%. Sehingga, rata- rata realisasi upah yang diterima pekerja hanya Rp 2.630.695. Kemudian Sulawesi Barat yang simpangan upahnya sebesar -12,63%.
Rata-rata realisasi upah yang diterima pekerja lebih rendah dari seharusnya, juga terjadi di daerah lain: Jambi (simpangan upah -6,6%), Riau (-1,6%), Lampung (-4,83%), Kepulauan Bangka dan Belitong (-9,06), Kalimantan Selatan (-0,27%), Sulawesi Utara (-2,13%) dan Gorontalo (8,9%).