JAKARTA — Hanya dalam setahun, harga batu bara anjlok hingga tinggal sepertiganya. September 2022, harga bahan bakar ini bertengger pada puncak US$458 per ton, untuk kemudian meluncur turun hingga US$159 per ton, awal September lalu.
Anjloknya harga batu bara, komoditas andalan ekspor Indonesia selain sawit, akan mengancam penerimaan pajak pemerintah. Tahun lalu, berkat windfall profit dari kenaikan harga komoditas, pemerintah menjala rezeki nomplok yang membuat penerimaan pajak pada 2022 meroket hingga 116% dari target.
Turunnya harga batu bara disebabkan banyak hal. Di sisi supply, penurunan ini didorong oleh pasokan yang kian melimpah. Pada kuartal tiga 2022, produksi batu bara dunia mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
India, salah satu produsen batu bara penting di dunia, misalnya, menggenjot produksi hingga tumbuh 16% dari 2021. Begitu pula Amerika Serikat dan Cina yang produksinya masing-masing tumbuh 3% dan 11%.
Lonjakan produksi ini masih ditambah dengan kenaikan ekspor sejumlah negara ke pasar dunia. Ekspor Indonesia, misalnya, naik 14%. Begitu juga ekspor Afrika Selatan ke Eropa yang sejak Agustus 2022 naik hampir enam kali lipat.
Saat ini, pasokan Afrika Selatan dan Kolombia (jika digabungkan) telah mencapai 35% dari total impor batu bara Eropa. Ini menggantikan supply dari Rusia yang sejak invasi ke Ukraina telah diblokade Uni Eropa.
Meski produknya ditolak Eropa, produksi Rusia juga tak berhenti. Batu bara Rusia dialihkan dari pasar Eropa menuju Cina dan India.
Di tengah pasokan yang melimpah itu, konsumsi justru cenderung melemah. Pelambatan ekonomi di Cina, konsumen terbesar batu bara di dunia, membuat permintaan batu bara mengendur. Begitu juga tingkat permintaan dari Eropa yang tidak lagi sekencang kuartal tiga 2022.
Harga batu bara tampaknya akan sangat dipengaruhi naik turunnya harga gas alam. Kedua bahan bakar ini dapat saling menggantikan, terutama sebagai sumber pembangkit listrik.
Selain itu, risiko geopolitik dari invasi Rusia ke Ukraina ikut memperbesar tekad pemerintah di banyak negara untuk mempercepat transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber eergi terbarukan. Ini semua akan mengurangi tingkat permintaan batu bara di masa depan.
Apa boleh buat, tahun ini pemerintah Indonesia sulit berharap ada “durian runtuh”, rezeki nomplok seperti tahun lalu.