Tahun 2023, Ujian Berat bagi Sri Mulyani

JAKARTA — Tahun ini akan menjadi ujian yang berat bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bukan, bukan karena ada anak pejabat Pajak yang suka petentang-petenteng pamer harta bapaknya di sosial media, tapi lantaran perkara yang jauh lebih rumit: bagaimana mengatur alokasi anggaran negara.

Tahun ini Indonesia akan kembali pada ketentuan lama soal defisit angaran. Setelah tiga tahun mendapatkan dispensasi bisa utang lebih banyak untuk mengatasi dampak pandemi, mulai 2023 ini defisit anggaran akan kembali ke aturan lama: maksimal hanya 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Pilihannya: penerimaan negara harus digenjot, dan/atau pengeluaran harus dikekang. Ini tidak mudah. Dalam bayang-bayang resesi global, penerimaan negara sulit didongkrak. Begitu pula mengerem pengeluaran. Pada masa ketika ekonomi dunia melambat, belanja negara justru diharapkan bisa jadi motor pertumbuhan.

Betul, seperti berulang kali dinyatakan para pejabat, perkonomian kita lumayan tahan banting. Punya daya tahan terhadap resesi global. Salah satunya lantaran perekonomian Indonesia belum terlalu terikat dalam global value chain, seperti Malaysia atau Thailand. Pasar domestik kita juga sangat besar.

Meski demikian, dari sisi penerimaan, tahun ini akan sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan rezeki nomplok dari kenaikan penerimaan pajak seperti tahun lalu. Seiring dengan pelemahan ekonomi global, ekspor juga akan lesu.

Buntutnya: setoran pajak penghasilan dari perusahaan kelapa sawit dan batu bara (dua komoditas andalan ekspor) akan menurun. Pendapatan rumah tangga di daerah penghasil dua komoditas itu juga akan melemah sehingga berpotensi menurunkan konsumsi.

Potongan pos wajib yang tak bisa ditawar

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ada sejumlah “pos wajib” yang sifatnya mengikat, yang tak bisa diganggu gugat. Misalnya, cicilan utang pemerintah, biaya untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai, serta belanja subsidi. Ketiga pos ini, dari tahun ke tahun, jumlah dan porsinya cenderung semakin membengkak.

Coba kita tengok. Pos cicilan utang, misalnya. Tahun 2004, cicilan utang hanya menyita 18% dari penerimaan negara – kemudian terus menanjak hingga 29% pada 2019.

Pos belanja pegawai juga serupa. Naik dari 13% menjadi 19% penerimaan negara, dalam periode yang sama. Untunglah, pos subsidi tidak ikut-ikutan naik, tapi turun dari 23% menjadi 10%.

Jika dijumlahkan, pengeluaran wajib ini makin besar. Seperempat abad lalu, pos-pos ini hanya menyita separuh penerimaan negara, bahkan kurang. Namun pada 2019, pos wajib sudah menghabiskan 58% penerimaan negara.

Situasi ini mudah dibayangkan dengan menengok gaji bulanan kita yang biasanya juga penuh drama. Setelah dipotong pengeluaran wajib seperti cicilan rumah, cicilan kartu kredit, bayar sekolah anak, gaji asisten rumah tangga, dan kiriman buat orang tua, eh, tahu-tahu gaji sudah hampir habis. Tinggal sisa ampasnya.

Dari uang sisa itulah kita betahan hidup. Untuk makan, beli obat, biaya transpor, beli pulsa, dan mungkin sesekali nonton film. Kita musti kelola secermat mungkin, agar cukup untuk hidup sebulan. Bisa nabung, jika ada sisa. Kalau tekor, apa boleh buat, terpaksa musti nambah utang lagi.

Belanja modal yang terus menyusut

Kira-kira seperti itulah situasi yang kini dihadapi Sri Mulyani, dalam skala yang lebih kolosal. Porsi penerimaan negara yang tersisa kian sedikit. Padahal, dari dana inilah, pemerintah diharapkan dapat memperbanyak belanja modal untuk mendorong pertumbuhan.

Belanja modal merupakan pos pengeluaran untuk aset yang punya manfaat jangka panjang, lebih dari setahun. Misalnya, untuk membangun jalan, jembatan, pasar, rumah sakit, bendungan, bandara, atau jaringan irigasi.

Aset-aset infrastruktur ini punya “efek berganda” yang besar. Pembangunan jalan, misalnya, akan membuka isolasi, sekaligus mendorong petani memaksimalkan manfaat dari lahan yang ia miliki karena pisang dan cabai yang mereka tanam kini bisa diangkut ke pasar, punya nilai ekonomi.

Akibatnya, bukan hanya sektor konstruksi yang bergerak, sektor pertanian dan perdagangan jadi ikut tumbuh. Itu sebabnya, belanja modal amat penting dalam menyokong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan.

Sayangnya, porsi belanja modal ini cenderung terus menurun. Tahun 2015, belanja modal pemerintah masih 12% dari total belanja negara. Tahun lalu, tinggal 8%.

Tahun ini apalagi. Menteri Sri Mulyani dan timnya bakal kesulitan menaikkan porsi dan jumlah belanja modal. Terutama karena penerimaan negara melemah, pengeluaran wajib meningkat, dan itu tadi: ruang untuk menambah utang tidak lagi leluasa.

5 Jawara Multifinance

Artikel sebelumnya

Bali United, Istana Sepak Bola Milik Pieter Tanuri Sang Bos Ban Indonesia

Artikel selanjutnya

Baca Juga