JAKARTA — Tanda-tanda kelesuan mulai tampak pada industri pengolahan Indonesia. Selama tiga bulan terakhir (Juli-September), Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Manager’s Index (PMI) sektor manufaktur telah masuk pada zona kontraksi.
Ini merupakan rentetan indeks terendah setelah selama 34 bulan terakhir, sejak September 2021, PMI Manufaktur Indonesia selalu berada pada zona ekspansi.
PMI Manufaktur merupakan salah satu ukuran penting yang merekam denyut dan tren perekonomian pada industri pengolahan.
Sinyal ini menjadi pedoman para pengusaha, analis pasar, dan investor, untuk meneropong masa depan perekonomian.
PMI disusun dan diterbitkan setiap bulan oleh S&P Global, sebuah lembaga pemeringkatan. Indeks ini merangkum sejumlah gelagat yang dirasakan para manajer pembelian di sektor manufaktur: apakah kondisi pasar sedang dan berkembang, tetap sama, atau menyusut.
Dengan rentang nilai antara 0 – 100, angka di atas 50 pada PMI menunjukkan kondisi dan tren ekspansi, di bawah 50 berarti kontraksi, sedangkan 50 menandakan tak ada perubahan.
Selama Juli – September, PMI Manufaktur Indonesia selalu di bawah 50. Terakhir, pada September 2024, berada pada level 49,2.
Sinyal mencemaskan
Bagi Indonesia, penurunan PMI Manufaktur ini mencemaskan. Selain penyumbang terbesar perekonomian, industri pengolahan merupakan penyerap tenaga kerja paling penting.
Tahun lalu, sumbangan industri pengolahan mencapai 19,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Ini jauh melampaui sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan motor (yang berada di urutan kedua, dan menyumbang 13,5% PDB); serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (13,1% PDB).
Dalam hal lapangan kerja, sektor manufaktur menyerap 19,34 juta tenaga kerja atau 13,8% dari total tenaga kerja di Indonesia.
Meski hanya menempati urutan tiga besar dalam penyerapan tenaga kerja (setelah pertanian dan perdagangan), manufaktur memegang peran sangat vital.
Sebagian besar industri pengolahan merupakan bagian dari ekonomi formal yang umumnya memberikan upah lebih baik dan produktivitas lebih tinggi dari pada sektor informal.
Dengan upah yang ajeg dan cenderung lebih tinggi, serta berbagai jaminan sosial dan kesehatan, sektor ekonomi formal dipercaya lebih berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Barangkali karena itu, dalam Sidang Kabinet Paripurna Agustus lalu, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk menemukan jalan agar PMI Manufaktur kembali ke zona ekspansif.
Mengapa turun
Menurut S&P Global, memburuknya kinerja PMI Manufaktur didorong sejumlah hal. Yang paling pokok: menurunnya tingkat permintaan pasar (terutama penurunan pesanan baru) yang berbarengan dengan penurunan tingkat produksi.
Selain itu juga ada faktor keterlambatan dalam pengiriman barang dan harga bahan baku yang lebih tinggi.
Meski secara umum kondisinya mengkhawatirkan, S&P mencatat untuk pertamakalinya dalam tiga bulan terakhir ada peningkatan lapangan kerja, walau hanya sedikit.