JAKARTA — Harga dolar terus merangsek naik. Pekan lalu, nilai mata uang Amerika Serikat (AS) ini sempat mencapai Rp15.927, rekor tertinggi selama 42 bulan terakhir. Jika dibandingkan dengan posisi akhir Juli, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sudah naik 6%.
Kenaikan kurs dolar bukan hanya terhadap rupiah, tapi juga pada hampir seluruh mata uang dunia. Selama periode yang sama, Dollar Index meningkat dari 101 menjadi 106 atau naik 5%. Dollar Index mencerminkan nilai tukar dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, seperti euro, poundsterling, yen, dan dolar Kanada.
Kenaikan dolar terutama didorong oleh ketimpangan ekonomi global. Ketika pertumbuhan ekonomi di Eropa dan Cina lesu, The Federal Reserve (The Fed, bank sentral AS) justru sedang kerepotan mengendalikan inflasi. Akibatnya, suku bunga AS terus melambung, jauh melampaui suku bunga negara-negara lain.
Ini membuat permintaan terhadap dolar AS terus menguat. Investor dari seluruh dunia berbondong-bondong mengalihkan asetnya ke dolar untuk mengejar keuntungan yang lebih besar.
Di Indonesia, daya pikat dolar juga tampak pada pergerakan modal asing, baik di pasar modal maupun pasar obligasi. Sejak awal Agustus, tak kurang dari Rp64,4 trilyun modal asing telah meninggalkan pasar keuangan Indonesia dan berpindah ke aset-aset berbasis dolar AS.
Pergerakan ini kontras dengan periode Januari – Juli 2023, ketika investor asing membawa masuk Rp110,7 trilyun ke Bursa Efek Indonesia maupun surat berharga negara.
Perubahan arus modal asing ini, terutama didorong oleh selisih antara suku bunga acuan Bank Indonesia dan The Fed yang semakin menipis. Pada Januari 2023, selisih bunga acuan BI dan The Fed masih 142 basis poin, namun terus menurun menjadi hanya 42 basis poin pada Agustus lalu.
Bagi investor, selisih suku bunga yang terus menipis ini membuat aset berbasis rupiah kurang menarik dibandingkan dengan aset berbasis dolar yang memberikan imbal hasil lebih tinggi.
Selain karena suku bunga dolar AS yang kian tinggi, tren penguatan dolar juga didorong oleh lesunya kinerja sejumlah perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham Wall Street.
Dalam sepekan terakhir, harga saham raksasa teknologi Alphabet (dulu Google) merosot 13% menjadi US$121,47 setelah pendapatan divisi cloud-nya meleset dari perkiraan.
Begitu pula harga saham berkapitalisasi besar lain, seperti Berkshire Hathaway (konglomerasi milik Warren Buffett) dan raksasa keuangan JPMorgan Chase&Co yang dalam periode yang sama, harga sahamnya sama-sama turun 6%.
Kelesuan ini meningkatkan kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia, sekaligus menurunkan selera investor pada mata uang yang berisiko. Untuk megurangi risiko, para investor mengambil jurus pengamanan dengan kembali ke dolar.
Tentu saja, selalu ada kemungkinan bahwa kenaikan dolar bisa berbalik arah jika perekonomian AS terpuruk. Ini bisa didorong dua hal: karena beban suku bunga yang semakin tinggi dan lonjakan nilai dolar yang berlebihan.
Meski demikian, tekanan inflasi AS saat ini dianggap masih terlalu tinggi dari target 2% yang ditetapkan The Fed. Agaknya, tak ada pilihan lain bagi Bank Sentral AS untuk mempertahankan suku bunga tinggi sampai pertengahan tahun depan, atau setidaknya sampai akhir tahun ini.
Bank Indonesia mencoba mengurangi tekanan dolar dengan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin. Jika jurus ini tak dapat meredam pelarian modal, bukan mustahil langkah serupa juga akan diambil lagi bulan depan.