JAKARTA — Benarkah kita akan memasuki masa resesi? Cobalah tengok jemuran tetangga. Jika Anda menemukan banyak pakaian-dalam-pria yang kendor, usang, dan rombeng, bersiaplah. Resesi tampaknya sedang menunggu di depan pintu.
Gelagat resesi lazimnya tampak pada indikator ekonomi. Jika perekonomian merosot dalam skala yang luas dan dalam tempo lama (konsensus umum: dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif), maka secara teknis ia dinamakan resesi.
Masalahnya, hari-hari ini ekonomi sedang menampakkan tabiat yang ganjil. Tidak biasa. Data pertumbuhan ekonomi memang masih positif. Inflasi juga tetap meningkat, kendati lajunya mulai melamban.
Data puchasing manager index (PMI) meski sedikit turun dari Januari, juga masih mencerminkan tren ekspansi. PMI merujuk pada kecenderungan arah perekonomian di sektor jasa dan manufaktur: apakah akan menyusut, tumbuh, atau setara.
Data-data yang menenangkan ini didukung oleh sejumlah sinyal lain di lapangan. Jalanan yang semakin macet, misalnya. Ruas tol yang penuh dengan truk-truk pengangkut mobil motor baru, mal-mal yang ramai pengunjung, kursi pesawat jarang kosong, atau reservasi hotel yang seringkali fully booked. Ini semua menandakan perekonomian yang sedang melaju kencang.
Namun jika ekonomi sedang berlari kencang, mengapa angka pengangguran tak kunjung berkurang? Data Badan Pusat Statistik mencatat, selama tiga tahun terakhir sejak awal pandemi, angka pengangguran bertahan pada 5,9% – 6,5%, belum kembali seperti sebelum pandemi pada rentang 4,9% – 5,3%.
Berita-berita tentang PHK massal juga terus bermunculan, silih berganti. Bukan hanya di kalangan perusahaan rintisan di sektor teknologi, informasi, dan komunikasi, tapi juga pada industri pengolahan.
Dari lipstik sampai celana dalam
Dalam situasi yang ganjil seperti ini, di saat metrik tradisional tak bisa dibaca dengan meyakinkan, banyak ahli yang kemudian mencari gelagat lain yang tersembunyi.
Dasar pemikirannya: ketika resesi mendekat, orang bisa mengubah perilaku yang paling pribadi, kadang dengan cara yang tidak disadari. Perubahan misterius ini kerap dapat mengungkap pertanda yang lebih jelas atau mempertegas apa yang telah dibaca oleh indikator yang umum.
Salah satu sinyal tersembunyi itu diperkenalkan oleh Alan Greenspan, bekas Ketua The Fed, bank sentralnya Amerika Serikat. Greenspan melacak pertanda yang tidak lumrah: penjualan celana-dalam-pria, salah satu perlengkapan busana yang paling pribadi, dan tersembunyi.
Lelaki, menurut Greenspan, membeli pakaian dalam secara reguler untuk mengganti yang usang. Itu sebabnya, penjualan celana-dalam-pria cenderung ajeg dari tahun ke tahun.
Nah, ketika penjualannya tiba-tiba anjlog, berarti ada sesuatu. Sebab yang umum: ekonomi sedang berada di masa yang sulit, sampai-sampai lelaki terpaksa menunda pembelian, dan membiarkan celana dalam peyot tetap dipakai.
Selain celana dalam, ada juga yang mengukurnya dari penjualan lipstik. Teorinya, perempuan memborong lebih banyak lipstik di saat resesi sambil mengurangi belanja gaun atau tas tangan yang lebih mahal. Lipstik dianggap sebagai “kemewahan yang terjangkau”.
Gelagat lain yang juga kerap dijadikan ukuran resesi, di antaranya: kenaikan kencan online, sepinya salon pengecatan rambut, dan penuhnya kulkas di kantor. Kulkas kantor yang penuh perlu diwaspadai. Jangan-jangan karyawan memilih bawa bekal makan siang ketimbang harus jajan di warung.
Apakah pengamatan atas hal-hal sepele yang mirip lelucon ini bisa dijadikan pegangan? Coba kita teliti kesahihan indikator celana-dalam Greenspan.
Di pasar modal kita, ada satu perusahaan pembuat celana dalam pria. Namanya PT Ricky Putra Globalindo (RPG). Perusahaan ini memproduksi GT Man, salah satu merk celana dalam pria yang cukup populer.
Laporan keuangan RPG mencatat, penjualan segmen pakaian-dalam di pasar domestik terus menanjak dari Rp417 miliar pada 2016, hingga mencapai puncak Rp496 miliar pada 2019. Pertumbuhannya relatif ajeg, rata-rata 6% setahun. Ini seiring dengan perekonomian yang juga tumbuh di kisaran 5% per tahun.
Namun dua tahun kemudian, penjualan tiba-tiba menukik tajam. Pada 2021, penjualan melorot hingga tinggal Rp364 miliar atau turun 27% dari 2019. Lagi-lagi, ini sejalan dengan ukuran perekonomian yang juga mengecil (tumbuh negatif), bersamaan dengan masa pandemi.
Lalu bagaimana dengan 2022? Sampai akhir triwulan tiga, penjualan pakaian dalam RPG di pasar domestik masih menjanjikan. Nilainya Rp299 miliar, naik 12% dari periode yang sama tahun 2021. Pantas saja, sepanjang 2022 perekonomian kita tumbuh melesat, lebih tinggi dari perkiraan.
Jadi apakah tahun 2023 ini kita akan mengalami resesi? Jika percaya pada indikator Greenspan, tengoklah jemuran tetangga. Jangan-jangan, celana dalam kendor malah tampak pada tiang jemuran kita – bukan di tempat lain.