Raksasa Polisen yang Terjebak Otak Biner

JAKARTA – Mengapa ambisi besar Indonesia untuk menjadi pemain global melalui hilirisasi nikel yang agresif dan pembelian alutsista canggih terasa begitu kerdil saat dihadapkan pada kegagalan elementer melindungi nyawa rakyat dari bencana di depan mata?

Pada 10 November 2025, kolumnis The New York Times, Thomas L. Friedman—pemenang tiga Hadiah Pulitzer dan intelektual publik yang pernah mendefinisikan wajah globalisasi modern lewat magnum opus-nya, The World Is Flat—mengajukan tesis yang membongkar ketidaksiapan struktural negara berkembang. Dalam tulisannya “Welcome to Our New Era. What Do We Call It?”, Friedman menyimpulkan bahwa umat manusia telah meninggalkan kenyamanan era Pasca-Perang Dingin dan memasuki wilayah liar yang disebutnya “Polisen” (The Polycene).

Ini adalah era yang didefinisikan oleh awalan “poli-” yang berarti banyak. Kita tidak lagi menghadapi tantangan tunggal, melainkan ledakan interaksi majemuk yang saling bertabrakan. Kita menyaksikan kebangkitan artificial general intelligence (AI) polimatik, krisis iklim yang bermutasi menjadi “polikrisis”, tatanan geopolitik “poliamori” dengan aliansi ganda cair, serta ekonomi dalam jaring laba-laba pengetahuan global. Tesis Friedman menohok jantung cara pandang lama, yaitu sistem biner seperti hitam-putih, hulu-hilir, atau kawan-lawan yang sudah usang. Masa depan milik mereka yang mampu berpikir sintesis dan membangun koalisi adaptif kompleks.

Jika kerangka pikir ini diletakkan di atas peta Indonesia, negeri ini tampak seperti paradoks raksasa. Secara geografis, Indonesia adalah entitas “Polisen” paling alami karena merupakan negara kepulauan dengan keragaman hayati dan etnis masif. Namun, realitas pengelolaan negara menunjukkan ironi bahwa Indonesia adalah Raksasa Polisen yang dioperasikan dengan Otak Biner. Keterjebakan dalam pola pikir linear ini telah bermetamorfosis menjadi krisis kemanusiaan nyata, dari lembah Sumatera hingga dataran tinggi Jawa.

 

Polikrisis Lingkungan

Konsep “Polikrisis” di mana satu pemicu ekologis menyalakan rentetan krisis lain adalah kenyataan berlumpur yang kita saksikan dua minggu terakhir. Rentetan bencana hidrometeorologi yang menghantam Aceh, longsor di Deli Serdang dan Karo, terulangnya galodo di Sumatera Barat, hingga banjir bandang di Malang Raya bukanlah peristiwa acak. Ini adalah orkestra kehancuran akibat kegagalan tata kelola sistemik.

Di Sumatera, pola ini berulang dengan presisi mengerikan. Hujan ekstrem akibat perubahan iklim (faktor A) bertemu degradasi lahan masif di hulu (faktor B), lalu menabrak permukiman padat tanpa mitigasi (faktor C). Ketiga faktor ini berinteraksi secara “poli” dan menciptakan daya rusak eksponensial. Namun, respons negara masih sangat biner karena hanya terpaku pada paradigma Peristiwa vs Respons. Bencana terjadi, bantuan dikirim, tanggap darurat ditetapkan, lalu selesai hingga siklus kematian berulang.

Kasus Malang Raya memberikan ilustrasi telanjang tentang kegagalan “Otak Biner”. Banjir lintasan di Kota Malang dan longsor di Kabupaten Malang adalah produk kegagalan melihat kawasan sebagai satu ekosistem. Kota Batu di hulu, yang didorong target Pendapatan Asli Daerah (PAD) wisata, mengizinkan alih fungsi lahan agresif. Hutan berubah menjadi beton hotel sehingga menghilangkan pori-pori tanah.

Sumber Data: Proyeksi tren berdasarkan Data Terbuka BNPB (Banjir, Cuaca Ekstrem, Tanah Longsor) dan laporan kejadian terkini.

Cacat pikirnya fatal karena birokrasi bekerja berdasarkan batas administratif dengan logika biner wilayahku versus wilayahmu. Sementara itu, air bekerja berdasarkan gravitasi dengan logika sintesis dari tinggi ke rendah. Kota Malang mencoba mengatasi banjir dengan memperbesar drainase beton sebagai solusi sipil abad lalu, sedangkan hulu terus menuangkan air. Ini perlombaan yang tak mungkin dimenangkan. Air tidak peduli pada stempel walikota/bupati atau batas wilayah.

Tragedi ini menegaskan ketiadaan “Sistem Saraf Pusat” mitigasi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sering bekerja bak pemadam kebakaran yang datang saat api membesar, bukan arsitek keselamatan. Teknologi satelit dan pemodelan cuaca di Jakarta tidak terkonversi menjadi tindakan preventif di tapak. Warga dibiarkan bertaruh nyawa melawan alam yang rusak hanya bersenjatakan doa, sementara birokrasi bergerak lambat dengan logika prosedur kaku.

 

Ekonomi Hilirisasi

Ketidakmampuan mengelola kompleksitas alam berjalin dengan manajemen ekonomi. Indonesia mabuk kepayang dengan narasi Hilirisasi sebagai tiket negara maju. Namun, pisau analisis Friedman tentang “pembagian pengetahuan” (division of knowledge) menyingkap kerentanan struktural kita. Di era Polisen, nilai tambah terbesar ada pada “otak” seperti desain, algoritma, dan integrasi, bukan “otot” atau material semata.

Hilirisasi nikel Indonesia sukses secara volume, tapi kita masih berperan sebagai “otot” yang menyediakan lahan dan bijih. Sementara itu, “otak” berupa teknologi pengolahan dan paten baterai dikuasai asing, terutama Tiongkok. Kita menyediakan halaman rumah untuk pesta teknologi global tapi hanya menjadi pramusaji, bukan pemilik resep.

Posisi ini berisiko besar jika terjadi fragmentasi teknologi. Jika pasar Barat menuntut standar ESG (Environmental, Social, Governance) ketat, produk nikel kita yang diproses energi kotor bisa tertolak. Lebih jauh, kita belum memitigasi ancaman AI terhadap tenaga kerja. Pendidikan kita yang masih mencetak lulusan pola pikir industri dengan metode hafal-ulangi tak relevan di era manusia polimatik. Tanpa revolusi SDM, smelter canggih itu hanya akan menjadi monumen asing yang dioperasikan mesin atau tenaga impor, sementara pemuda lokal tersisih.

Indonesia berdiri di atas dua perahu yang berpotensi bergerak ke arah berlawanan. Ketergantungan ekonomi pada Tiongkok berbanding terbalik dengan ketergantungan militer pada Barat.

 

Bahaya Menari “Poliamori” Tanpa Prinsip

Analisis Friedman tentang tatanan geopolitik “poliamori” saat negara melakukan keberpihakan ganda demi keuntungan transaksional sangat relevan bagi Indonesia. Dengan doktrin “Bebas Aktif”, kita merasa nyaman memainkan strategi lindung nilai (hedging).

Lihat manuver kita yang mengundang investasi nikel masif dari Tiongkok sambil membeli 24 jet tempur F-15EX dari AS dan 42 Rafale dari Prancis. Di atas kertas, ini cerdas. Kita makan dari dua piring raksasa seolah bisa memisahkan urusan ekonomi dan pertahanan selamanya.

Namun, risiko era Polisen adalah volatilitas. Ketika ketegangan memuncak menjadi konflik terbuka seperti di Taiwan atau Laut Cina Selatan, posisi “di tengah” tak lagi dianggap netral melainkan oportunis tanpa prinsip. Washington bisa menuntut pemutusan rantai pasok nikel ke musuh sebagai syarat dukungan teknis jet tempur. Sebaliknya, Beijing bisa melumpuhkan industri smelter kita jika kita terlalu condong ke Barat.

Dalam skenario terburuk, Indonesia bukan menjadi jembatan perdamaian, melainkan medan tempur proksi di mana aset ekonomi dan militer saling sandera. Doktrin “Bebas Aktif” tanpa kekuatan tawar strategis seperti penguasaan semikonduktor Taiwan hanya menjadikan kita pelanduk yang mati bukan karena terinjak, tapi ditarik paksa dua gajah ke arah berlawanan.

 

Menuju Pemerintahan Sintesis

Menghadapi kompleksitas ini, Friedman mengingatkan bahwa “Jawaban terbaik hidup dalam sintesis, bukan di tepian.” Solusinya menuntut transformasi tata kelola dari birokrasi linier menuju pemerintahan adaptif terintegrasi.

Sumber Data: BPS, UNESCO Institute for Statistics, OECD. – Kita kaya karena menjual sumber daya alam yang diolah teknologi orang lain, bukan karena kecerdasan inovasi bangsa sendiri.

Langkah awal yang mendesak adalah mewujudkan integrasi data yang menyeluruh. Pemerintah semestinya tidak lagi melihat data sebagai aset sektoral yang terpisah. Pembelajaran dari Sumatera dan Malang menegaskan bahwa data hujan, kerentanan tanah, dan tata ruang harus disatukan dalam satu kesatuan analisis. Kita membutuhkan semacam “Sistem Saraf Pusat” berbasis AI yang mampu mensintesiskan jutaan variabel menjadi gambaran real-time, sehingga keputusan evakuasi berjalan otomatis dan presisi, tanpa harus menunggu surat edaran yang seringkali terlambat.

Upaya ini perlu dibarengi dengan pemahaman baru tentang otonomi daerah berbasis ekologis, mengingat alam tidak mengenal batas administratif kota. Tata kelola di era Polisen menuntut adanya otoritas kawasan ekologis yang melampaui yurisdiksi politik sempit. Masalah banjir di Malang Raya tidak akan tuntas hanya dengan “muhibah” antar-kepala daerah yang berbeda partai hingga agenda; diperlukan otoritas lintas-batas yang berwenang meninjau ulang izin pembangunan di hulu demi keselamatan hilir. Ini bukanlah sentralisasi, melainkan sinkronisasi logis demi keberlangsungan hidup, agar otonomi tidak sekadar menjadi lisensi untuk memindahkan bencana ke tetangga.

Di atas segalanya, transformasi ini mustahil terwujud tanpa pembaruan “perangkat lunak” manusianya. Pendidikan adalah fondasi utama kita. Menghadapi era AI, kurikulum yang mengandalkan hafalan tak lagi relevan. Generasi muda perlu dibentuk menjadi manusia polimatik yang cakap menghubungkan titik-titik yang tampaknya tak berhubungan—memahami bahwa keputusan pembelian alutsista berkorelasi dengan diplomasi nikel, dan penebangan pohon di Batu memiliki konsekuensi ekonomi langsung di Malang.

Dalam retorika resmi negara, Indonesia sedang menyongsong menuju 2045. Pilihannya bukan Barat atau Timur, tapi antara otak biner usang atau kecerdasan sintesis adaptif. Alam yang mengamuk di Sumatera dan Jawa telah memberi ultimatum bahwa ia tak menunggu birokrasi berbenah. Selamat datang di Polisen, di mana Indonesia harus cerdas, terkoneksi, dan berprinsip, atau hanya menjadi catatan kaki raksasa yang karam karena gagal membaca zaman.

Inflasi November 2025 dan Jerit Dompet Kelas Menengah

Artikel sebelumnya

Ketika Ribuan Balita Dibiarkan Telantar di Halaman Belakang Negara

Artikel selanjutnya

Baca Juga