Populasi, Kue Ekonomi, dan Mukjizat Inovasi

JAKARTA — Populasi adalah bensin ekonomi. Makin banyak penduduk berarti makin banyak perut yang perlu makan, makin banyak badan yang perlu pakaian, serta hati dan kepala yang butuh rekreasi.

Ini semua akan menciptakan permintaan yang mendorong pasar dan produksi.

Makin banyak penduduk juga berarti makin banyak otot dan otak yang dapat bekerja: mencangkul, mendorong traktor, menyulam baju, main musik atau teater. Ini semua akan menjadi mesin produksi yang mendorong output ekonomi.

Selain itu, populasi yang besar juga menambah semangat inovasi. Tanpa pasar yang besar, Thomas Alfa Edison tak punya insentif untuk menemukan bolam lampu. Lebih banyak penduduk berarti lebih banyak orang yang akan membeli bola lampu dan memperkaya Edison.

Bagaimanapun, manusia merupakan bahan mentah pertumbuhan ekonomi.

Pengolahan data populasi dan kue ekonomi (biasa diwakili indikator produk domestik bruto) di seluruh kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan gelagat serupa. Wilayah dengan banyak penduduk cenderung memiliki kue ekonomi yang lebih besar – meski disertai dengan sejumlah catatan.

Misalnya, catatan tentang kekayaan sumber daya alam. Wilayah dengan sumber daya alam melimpah berpotensi mengundang investasi yang akan meningkatkan produksi.

Catatan lain: kualitas sumber daya manusia. Tenaga kerja yang terampil dan terdidik akan mendorong produktivitas dan inovasi.

Soal kekayaan sumber daya alam tampak, misalnya, dalam perbandingan antara Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah dan Kota Mojokerto di Jawa Timur.

Populasi kedua wilayah relatif sama: Morowali dengan 128.000 penduduk, Mojokerto 133.000. Tapi coba tengok kue ekonominya.

Pada 2023, PDRB Kota Mojokerto hanya Rp8 triliun, sedangkan Morowali Rp158 triliun, hampir 20x lipat. Bagai bumi dan langit.

Morowali kaya dengan nikel yang kini menyedot investasi dari seluruh dunia. Tahun lalu, realisasi investasi di Morowali mencapai Rp91 triliun dan ditargetkan naik menjadi Rp114 triliun pada tahun ini.

Banjir investasi ini mendorong pertumbuhan ekonomi Morowali hingga 20,3% pada tahun lalu.

Sebaliknya Kota Mojokerto. Tahun lalu, investasi di daerah yang mengandalkan industri transportasi dan pergudangan ini hanya Rp391 miliar dengan pertumbuhan ekonomi 2,8%.

Sementara itu, perihal kualitas tenaga kerja tampak dalam perbandingan antara Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kebuman.

Keduanya memiliki populasi setara: 1,2 juta orang, tapi berbeda kualitas tenaga kerjanya. Di Kebumen, hanya 6,8% angkatan kerja yang lulus pendidikan tinggi, sedangkan Pekanbaru 13,5%, atau dua kali lipatnya.

Populasi bukan pendorong abadi  

Pengolahan data ini menunjukkan bahwa jumlah populasi bukan pendorong abadi perekonomian. Banyak hal lain yang perlu diperhitungkan, seperti sumber daya alam, investasi, inovasi, dan kualitas tenaga kerja.

Jumlah penduduk memang bisa jadi modal awal. Negara-negara berkembang dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dapat menikmati pertumbuhan ekonomi akibat peningkatan tenaga kerja dan konsumsi.

Apalagi, jika ditambah dengan eksploitasi sumber daya alam.

Namun, kekuatan jumlah penduduk dan sumber daya alam ada batasnya. Tanpa peningkatan kualitas tenaga kerja dan inovasi, pertumbuhan ekonomi yang pesat mustahil dapat berkelanjutan. jumlah penduduk justru akan menjadi beban.

Tanpa perbaikan pendidikan dan kesehatan, tak mungkin tersedia tenaga kerja yang produktif, yang mampu menghadirkan mukjizat inovasi.

 

 

KUR Melejit, BPR Terjepit

Artikel sebelumnya

Baca Juga