Peluang Ekonomi di Kalimantan Timur

JAKARTA – Tren kontribusi sektor pertambangan (batu bara) semakin menurun terhadap nilai perekonomian Kaltim. Arah pembangunan global ke depan pun kian hijau atau ramah iklim demi menyelamatkan lingkungan.

Rasanya telah tiba saatnya Kaltim melakukan shifting atau menggeser struktur perekonomiannya guna menyongsong era ekonomi hijau. Saat ini, perekonomian Kaltim masih sangat bergantung dengan sektor pertambangan batu bara dengan pangsa rata-rata 45,1%. Provinsi ini juga masih memiliki ketergantungan fiskal. Maklum, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) berkontribusi hingga 31% dari total pendapatan seluruh daerah di Kaltim.

Apalagi, ketergantungan ekonomi yang sangat dominan terhadap sektor pertambangan menyebabkan daerah-daerah di Kaltim sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Terutama fluktuasi harga komoditas batu bara di pasar internasional.

Meskipun secara keseluruhan neraca ekspor Kaltim surplus, namun pencapaian itu disokong oleh besarnya ekspor pertambangan (batu bara). Menurut data Tabel Inter-Regional Input-Output (IRIO) 2016, jika dilihat secara lebih rinci, Kaltim banyak mengalami mengalami defisit neraca perdagangan untuk beberapa sektor tertentu.

Dari 52 sektor yang disajikan dalam tabel IRIO, 31 sektor di antaranya mengalami defisit perdagangan yang cukup besar, yang totalnya mencapai Rp80,6 triliun. Kekurangan pasokan domestik untuk sektor-sektor tersebut menjadi peluang untuk dikembangkannya usaha-usaha baru yang menghasilkan barang-barang tersebut di wilayah Kaltim sendiri sehingga dapat menjadi engine of growth Kaltim di masa yang akan datang.

Dari 31 sektor yang defisit, 10 sektor penyumbang terbesarnya, antara lain industri mesin dan perlengkapan. Jika Kaltim mampu mengembangkan ke 10 sektor tersebut, setidaknya mampu menopang sekitar 8,8% dari perekonomian Kaltim secara keseluruhan yang dapat menjadi alternatif pengganti kontribusi sektor pertambangan.

Untuk dapat mengembangkan 10 sektor industri di atas, pemerintah Kaltim perlu membuka ruang dengan segala kemudahannya untuk masuknya investasi di sektor-sektor tersebut. Pada 2021, investasi asing (PMA) yang masuk ke Kaltim mencapai US$745 juta, setara dengan 49,5% dari total investasi asing yang masuk ke Kalimantan.

Dari nilai tersebut, 49,1% dialokasikan untuk sektor industri pengolahan yang nilainya mencapai US$366 juta. Industri makanan mengambil porsi terbesar dari total PMA di sektor industri pengolahan sebesar US$242 juta atau setara dengan 66,2%.

Sementara investasi domestik (PMDN) untuk Kaltim mencapai Rp30 triliun, setara dengan 48,7% dari total PMDN yang masuk ke wilayah Kalimantan secara keseluruhan. Dari angka tersebut, Rp16 triliun atau 52,3% dialokasikan untuk sektor industri pengolahan: Rp15 triliun atau 95,6% pada industri kimia dan farmasi.

Tak cukup sampai di situ. Perlu ada upaya untuk mendorong peningkatan investasi, baik PMA maupun PMDN di sektor industri pengolahan lainnya. Tentu saja pemerintah setempat menunjukkan komitmennya.

Selain mengembangkan beberapa sektor yang menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan Kaltim, Rencana Pembangunan Ibu Kota Negara di wilayah Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara harus dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Kaltim. Plus, mengoptimalkan delapan kawasan industri strategis yang ada di wilayah tersebut.

Kawasan tersebut adalah: Kawasan Strategis Perbatasan Mahakam Ulu, Kawasan Industri Pariwisata Kepulauan Derawan, Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, Kawasan Industri Berbasis Migas dan Kondensat Kota Bontang, Kawasan Industri Jasa dan Perdagangan Lota Samarinda dan Kukar, Kawasan Industri Kariangau, Kawasan Industri Pertanian Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, serta Kawasan Industri Pertanian Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.

Download Edisi White Paper

Memetakan Peluang Ekonomi Wilayah: Palembang

Artikel sebelumnya

Catatan Baru Ekonomi Gorontalo

Artikel selanjutnya

Baca Juga