Pasokan Berlebih, Impor Listrik Jalan Terus

JAKARTA – Ada paradoks dalam dunia listrik Indonesia. Pasokannya dinyatakan berlebih, tapi masih ada daerah yang tergantung kepada impor listrik dari negara tetangga.

Kelebihan pasokan (oversupply) listrik itu, menilik data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), telah terjadi sejak tahun 2012 dan mencapai rata-rata 20% setiap tahun.

Pada 2013, misalnya, data Kementerian ESDM menunjukkan listrik yang diproduksi berbagai sumber mencapai 350.609 GWh, sementara penggunaannya hanya mencapai 271.271 GWh. Terjadi kelebihan pasokan (oversupply) hingga 79.338 GWh, atau 23%.

Namun, perlu diingat bahwa pasokan berlebih belum tentu mencerminkan pemerataan pasokannya. Listrik yang “byar-pet” atau pemadaman bergiliran masih terjadi di beberapa daerah. Bahkan ada daerah yang sama sekali belum pernah dilalui aliran listrik.

Di tengah kondisi oversupply itu juga PT PLN (Persero) masih mengimpor listrik dari negeri tetangga untuk daerah Kalimantan Barat (Kalbar). Guna memenuhi kebutuhan warga Kalbar, PLN mengimpor listrik dari Serawak Electricity Supply Corporation (Sesco), anak perusahaan Serawak Energy Berhad, badan usaha milik pemerintah Malaysia.

Impor tersebut telah berjalan sejak tahun 2013. Awalnya hanya 3 GWh tetapi melesat menjadi 693 GWh pada tahun 2016.

Melonjaknya impor pada tahun itu bertepatan dengan gagalnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat di Kecamatan Jongkat. Pembangunan PLTU berdaya 2×50 MW yang dimulai pada 2008 tersebut tak selesai dan dihentikan pada 2016 karena ada dugaan korupsi. Hingga saat ini polisi masih menyelidiki kasus korupsi bernilai US$62,410 juta dan Rp323,2 miliar tersebut.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menyatakan bahwa mengimpor listrik dari Malaysia biayanya lebih murah karena listrik Sesco bersumber dari tenaga air. Sementara, mayoritas pembangkit listrik di Kalbar menggunakan bahan bakar solar yang harganya lebih mahal.

Alasan lain, kata PLN, belum ada interkoneksi jaringan listrik yang menyambungkan seluruh wilayah Kalimantan. Mereka juga tengah menunggu selesainya pembangunan beberapa pembangkit baru.

Angka impor listrik Kalbar mulai turun pada tahun 2020 seiring beroperasinya PLTU Parit Baru Site Bengkayang (2×50 MW) dan PLTU IPP (Independent Power Producer) Ketapang (2×6 MW), masing-masing sejak Juli dan Agustus 2019.

PLN juga berencana menyambungkan jaringan listrik Kalbar dengan PLTA Kayan yang tengah dibangun di Kalimantan Utara. PLTA Kayan, yang dijadwalkan selesai pada 2027, akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 9.000 MW.

Dampak kelebihan pasokan

Kelebihan pasokan listrik bukanlah prestasi. PLN justru harus mengeluarkan dana lebih banyak untuk menanggung kelebihan pasokan tersebut.

Mengapa? Karena PLN tidak sendirian memproduksi listrik. Pengembang swasta (Independent Power Producer/IPP) juga diizinkan memproduksi listrik melalui lelang proyek negara. Listrik yang dihasilkan akan dibeli PLN.

Masalahnya, kontrak jual beli listrik dengan IPP menggunakan skema “Take or Pay”. Artinya, PLN harus membeli pasokan listrik dari IPP sesuai dengan jumlah yang telah disepakati dalam kontrak, meski listrik itu tidak dipakai. Jika tak sesuai, penalti menanti.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu yakin masalah oversupply akan berakhir tahun depan, seiring bergeraknya roda perekonomian untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto.

Kisruh Menjelang Program Susu Gratis

Artikel sebelumnya

Baca Juga