JAKARTA — Sepanjang pekan lalu, rupiah seperti habis minum obat kuat. Mata uang Republik Indonesia ini nilai tukarnya terus menanjak hingga sempat menyentuh Rp14.703 per dolar Amerika Serikat (AS), posisi kurs terkuat sejak pertengahan Agustus 2022.
Jika dihitung selama sebulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah menguat Rp765 atau 5% dari posisi kurs Rp15.468 per dolar AS pada 10 Maret 2023.
Apakah rupiah bakal terus menguat? Banyak hal yang musti diperhitungkan. Sejauh ini, para pengamat pasar keuangan umumnya sepakat, nilai dolar AS bakal cenderung melemah — bukan hanya terhadap rupiah, tapi juga pada sebagian besar mata uang dunia yang lain.
Pelemahan nilai tukar dolar ini seiring dengan perekonomian AS yang mulai mendingin. Data statistik mencatat, tingkat inflasi di negeri adi daya itu terus melambat. Maret lalu, inflasi bulanan AS hanya 0,1%, atau separuh dari perkiraan para ekonom. Ini merupakan pelambatan inflasi bulanan AS selama sembilan bulan berturut-turut.
Pelambatan inflasi di AS sebagian besar didorong oleh penurunan harga pangan. Harga daging sapi, unggas, ikan, dan telur semuanya turun. Juga harga buah dan sayuran. Selain itu, ada pula pelambatan kenaikan harga sewa rumah dan harga pakaian.
Selain pelambatan inflasi, pendinganan ekonomi AS juga tampak dari pasar tenaga kerja yang mulai kendor. Tingkat pengangguran, salah satu alat ukur yang dijadikan pegangan oleh The Federal Reserve (The Fed), mulai merayap naik. Ini menunjukkan bahwa mesin perekonomian AS tidak lagi ngebut.
Tekanan inflasi yang melemah dan pasar tenaga kerja yang melonggar, akan mendorong bank sentral AS untuk mulai mengendorkan kebijakan uang ketat. Artinya, suku bunga dolar tak dikerek lebih tinggi lagi.
Jika suku bunga dolar tidak lagi mendaki, apalagi mulai turun, maka nilai tukar dolar AS akan melemah.
Rupiah terhadap yen, euro, dan pound
Datanesia mencoba membandingkan nilai tukar rupiah dengan sejumlah mata uang utama lain di dunia, seperti dolar AS, dolar Singapura, yen Jepang, dan poundsterling Inggris. Kami membuat indeks pergerakan kurs secara harian, sejak Januari 2020 (sebelum pandemi) hingga pekan lalu.
Dari perbandingan itu, tampak bahwa nilai tukar rupiah tidak jeblok-jeblok banget, malah cenderung cukup tangguh. Kurs rupiah terhadap keempat mata uang asing tersebut bahkan sempat menguat sejak pertengahan Januari hingga awal Februari 2020, ketika kekhawatiran terhadap penularan virus korona semakin meluas.
Nilai tukar rupiah cenderung melemah sejak awal pandemi, tapi kembali berotot setelah badai korona varian Delta mereda pada akhir 2021. Kurs rupiah tampak menguat terutama terhadap yen, pound, dan euro hingga pertengahan 2022. Pada 13 September 2022, kurs rupiah bahkan mencapai Rp103 per yen, rekor nilai tukar rupiah tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Meski sempat mengendor, nilai tukar rupiah terhadap yen kembali menguat. Akhir pekan lalu, kurs rupiah mencapai Rp110 per yen atau 93% dari posisi awal Januari 2020, sebelum pandemi.
Perbandingan kurs itu juga mencatat kekuatan dua mata uang yakni dolar AS dan Singapura. Ini seiring dengan kenaikkan suku bunga The Fed yang superagresif dari 0,25% pada April 2022 hingga menjadi 4,5%, pada awal 2023.
Nilai tukar dolar baru melandai sejak gelagat pendinginan perekonomian AS mulai tampak pada Maret 2023. Meski cenderung melemah dalam jangka panjang, nilai tukar dolar AS masih bisa bergelojak pada rentang waktu yang lebih pendek.
Awal pekan ini, misalnya, nilai tukar dolar AS kembali menguat terhadap hampir semua mata uang dunia akibat pernyataan salah satu anggota The Fed bahwa perang melawan momok inflasi masih jauh dari selesai.
Pernyataan ini dianggap sebagai aba-aba The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Mei, dan (mungkin) baru melonggarkan kebijakan uang ketat pada Juni 2023.