Modal Menjadi Alasan Klasik Industri Mikro dan Kecil

JAKARTA – Janji muluk pemerintah, khususnya pada industri kecil terus mendengung. Namun keluhan yang terdengar dari industri di kelas tersebut tetap klasik, antara lain soal permodalan dan akses pasar. Bahkan di saat pandemi 2020, BPS mencatat sekitar 200 ribu IMK tumbang alias gulung tikar.

Saat ini jumlah IMK tercatat ada 4,2 juta unit usaha yang 63,1% di antaranya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan klasifikasi usaha, IMK di Indonesia didominasi oleh industri makanan dan minuman yang berjumlah 1,5 juta unit atau 36,1% dari total IMK. Disusul oleh industri kayu, barang dari kayu, rotan, bambu, gabus dan sejenisnya (tidak termasuk furnitur) sebesar 15% dan industri pakaian jadi sebesar 14%.

Hingga saat ini, kelompok usaha yang berperan penting dalam menyangga perekonomian nasional itu masih dirundung beragam masalah. Akses pemasaran hingga permodalannya masih sangat terbatas, nyaris jauh dari janji-janji yang terdengar.

Mengacu pada publikasi BPS pada 2020, kendala yang paling banyak dialami oleh IMK adalah pemasaran. Sekitar 25,8% IMK merasakan persoalan ini. Selanjutnya permodalan (25,6%), disusul oleh kendala persaingan. Sebanyak 14,3% IMK mengeluhkan sulitnya menjalankan usaha karena harus bersaing dengan usaha sejenis atau menengah besar.

 

Berkutat di Kampung Sendiri

Kendati IMK fokus pada pengolahan bahan baku atau produksi, nilai tambah yang diperolehnya juga langsung dipasarkan ke konsumen. Namun, daya jangkaunya masih sangat terbatas. Sebagian besar IMK atau 89,5% di antaranya masih berkutat di kabupaten atau kota tempat mereka produksi.

Sementara untuk pemasaran luar kabupaten/kota dalam satu provinsi atau bahkan luar provinsi masih relatif belum banyak. Apalagi hingga ke luar negeri. Daya sebar produknya masih berkutat di kampung sendiri.

Berharap agar industri kecil ini menjadi bagian dari rantai produksi, tampaknya masih jauh panggang dari api. Penyerap produk hasil olahannya kebanyakan konsumen akhir, yaitu mencapai 48,6%. Bahkan yang ke pedagang besar sekitar 28,2%.

Sementara pasokan ke industri manufaktur masih sangat minim. Hanya 4,7% dari total IMK yang terlibat. Data-data ini mengindikasikan bahwa IMK tidak banyak terlibat dalam rantai pasok produksi (supply chain), sehingga nilai tambahnya pun terbatas.

Permodalan juga masih menjadi masalah yang rajin dibicarakan, namun tak kunjung terselesaikan. Sebagian besar, yaitu 88,4% IMK masih berusaha dengan menggunakan modalnya sendiri, terutama di industri makanan dan minuman. Sisanya yang 11,6% berasal dari pihak lain atau pinjaman usaha.

Pinjaman usaha terbanyak berasal dari perbankan, yaitu 49,4%. Sisanya dari pinjaman bukan bank, yang antara lain dari pinjaman perorangan, baik dari keluarga, teman bahkan rentenir yang jumlahnya tak sedikit, yakni 33,5%.

Ironinya, jumlah IMK yang menerima bantuan pemerintah bahkan masih sangat kecil: hanya sekitar 5,0%.

Sejatinya, sektor perbankan memainkan peran penting dalam menopang permodalan IMK. Namun hingga Februari 2022, penyaluran
kredit ke kelompok usaha tersebut masih 15,1% dari total pinjaman yang disalurkan oleh bank. Tahun-tahun sebelumnya justru terealisasi di bawah itu. Jika digabung dengan kelompok usaha menengah, rata-rata mencapai 20,3% per tahun.

Mulai 2024, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/13/PBI/2021, penyaluran pembiayaan ke usaha mikro, kecil dan menengah atau perorangan berpenghasilan rendah mencapai 30% dari total kredit. Mulai tahun depan, porsinya paling sedikit mencapai 25%. Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenakan sanksi maksimum denda Rp5 miliar mulai 2023.

Kurangnya gairah perbankan menyalurkan kredit ke usaha mikro dan kecil membuat kelompok usaha tersebut harus berhadapan dengan rentenir, selain ke teman atau keluarga jika modalnya kurang. Demi usaha agar tetap hidup.

Padahal, di luar beragam regulasi dari otoritas di bidang keuangan dan perbankan, lebih dari satu kementerian berurusan dengan usaha mikro dan kecil ini: Kementerian Perindustrian untuk IMK serta Kementerian Koperasi dan UKM.

Selain itu, ada Kementerian BUMN yang keterlibatannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Namun, sektor usaha mikro, kecil dan menengah masih terbatas disayang saat kampanye kebijakan. Realisasinya?

Download Edisi White Paper

Janji Manis untuk Kelompok Usaha Skala Mikro dan Kecil

Artikel sebelumnya

Pusat Perdagangan Tumbuh di Jawa dan Sumatera

Artikel selanjutnya

Baca Juga