JAKARTA – Harapan berlebihan terhadap pemulihan ekonomi mungkin perlu dikoreksi. Soalnya, tingkat permintaan terhadap barang-jadi cenderung loyo. Padahal, komponen ini merupakan mesin terbesar perekonomian. Tahun 2021, misalnya, konsumsi rumah tangga menyumbang 54% dari total output perekonomian atau biasa disebut sebagai produk domestik bruto (PDB).
Lesunya permintaan rumah tangga tampak dari kinerja penjualan eceran yang terus menurun, sejak mencapai puncak pada April lalu. Agustus ini, kinerja penjualan sedikit meningkat, tapi itu karena ditopang oleh penjualan makanan, minuman dan tembakau yang memang tumbuh pesat – sedangkan kategori barang yang lain, seperti peralatan informasi dan komunikasi, suku cadang, dan pakaian, masih terus melorot.
Ibarat termometer, indeks penjualan eceran digunakan untuk mengukur suhu perekonomian. Indikator ini melacak naik turunnya tingkat permintaan konsumen terhadap barang-jadi, sehingga dapat menelisik ada tidaknya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
Indeks Penjualan Riil (IPR), begitu biasanya indikator ini disebut, diukur melalui penjualan barang-tahan-lama dan tidak-tahan-lama, selama periode waktu tertentu. Dengan ukuran ini, IPR lazim digunakan sebagai salah satu penunjuk arah ekonomi.
Penjualan eceran yang menyusut umumnya memberi sinyal perekonomian sedang mengalami kontraksi. Lazimnya, kontraksi ini diikuti penurunan harga di pasar saham, dan menunjukkan lemahnya tekanan dalam inflasi.
Penjualan eceran juga lazim dipengaruhi oleh musim. Bulan-bulan menjelang hari raya, seperti idul fitri dan libur akhir tahun, seperti tampak dalam kenaikan indeks pada Mei dan Desember 2021, serta April 2022.
Dua bulan mendatang hingga menjelang akhir tahun, kinerja penjualan eceran agaknya masih akan tersendat akibat kenaikan harga bahan bakar yang diputuskan pemerintah, awal September lalu.
Lemahnya tarikan permintaan konsumen ini cenderung akan “mengendalikan” pergerakan inflasi yang didorong oleh kenaikan harga pangan dan biaya angkutan.