JAKARTA – Sejatinya, warga di Kalimantan: Timur, Selatan, Utara dan Tengah serta Sumatera Selatan yang menjadi penghasil batu bara terbesar di Indonesia dapat tetesan cuan atau untung dari kenaikan harga di pasar internasional.
Untuk melihat tetesannya, bisa merujuk pada kinerja Produk Domestik Bruto Regional (PDRB), terutama melalui sektor pertambangan dan penggalian. Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan PDRB yang paling bergantung pada sektor pertambangan.
Sepanjang 2017-2022, rata-rata kontribusi tahunan sektor pertambangan terhadap perekonomian provinsi tersebut hampir separuhnya, yakni 48,5%. Begitu pun dengan Kalimantan Utara. Sekitar 29,1% perekonomiannya disokong oleh sektor pertambangan dan penggalian.
Tampaknya lonjakan kenaikan harga batu bara -bahkan mencapai tertinggi sepanjang sejarah- tak lantas membuat ekonomi wilayah penghasilnya terdongkrak tinggi. Buktinya Kalimantan Timur. Pada kuartal IV-2021 hingga kuartal I-2022, kinerja ekonominya masih di bawah pencapaian nasional. Bahkan Kaltim ada di posisi terendah dibandingkan empat provinsi penghasil batu bara terbesar lainnya.
Padahal pada periode itu, harga batu bara justru sedang menanjak naik. Tapi sepanjang 2017- 2022, ekonomi Kaltim tumbuh rata-rata 2,2% (yoy) per tahun, lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,5% (yoy). Kalsel pun sama. Rata-rata pertumbuhannya pada rentang periode yang sama hanya sebesar 4,3% (yoy).
Tidak hanya terhadap PDRB, mestinya kenaikan harga batu bara juga dapat mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pendapatan daerah dapat bersumber dari PAD, pendapatan transfer dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dengan demikian, PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Karena itu, semakin tinggi PAD suatu wilayah, berarti wilayah tersebut semakin mandiri.
Dengan asumsi itu, Kaltim dan Kalsel termasuk wilayah yang mandiri, karena porsi PAD terhadap total pendapatan daerah, misalnya pada 2021, lebih dari 50%. Kedua provinsi itu dapat bersandar pada pendapatan dari wilayahnya.
Tingkat kesejahteraan wilayah memang tak hanya dilihat dari soal ekonomi, tetapi juga kondisi sosialnya. Tingkat penyerapan kerja bisa jadi satu di antaranya.
Kalimantan Timur yang sangat bergantung pada pertambangan dan penggalian, terutama batu bara, menyimpan tingkat pengangguran terbuka rata-rata 7,0% per tahun dalam periode 2017-2022. Ini mengindikasikan rendahnya daya serap tenaga kerja di sektor tersebut. Kondisi itu jauh lebih buruk dari kondisi nasional.
Tidak hanya itu, wilayah yang kaya batu bara ternyata tak melulu menjamin kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Buktinya Sumatera Selatan. Sepanjang 2017-2021, rata-rata tingkat kemiskinan per tahunnya 12,9% selama lima tahun terakhir. Jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional pada angka 9,8%.
Kendati demikian, tingkat kemiskinan di empat wilayah lain lebih rendah dibandingkan nasional. Secara rata-rata, Kalimantan Selatan menjadi wilayah penghasil batu bara terbesar yang menyimpan warga miskin terendah di antara lainnya.