Membedah Utang Pemerintah

JAKARTA — Debat tentang utang pemerintah terus memicu perbincangan tanpa akhir. Pihak yang mendukung menegaskan pentingnya utang dalam membiayai pembangunan, sedangkan kelompok yang kontra mencemaskan jumlah utang yang terus meningkat.

Hingga November 2022, posisi utang pemerintah mencapai Rp7.554 triliun atau membengkak hampir empat kali lipat dibandingkan posisinya sepuluh tahun lalu.

Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saja, utang pemerintah telah bertambah Rp4.955 triliun, sehingga totalnya menjadi hampir tiga kali lipat dari posisi akhir 2014.

Berbeda dengan masa Orde Baru yang mengandalkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan, kini pemerintah lebih banyak menggunakan instrumen surat utang negara (SUN) untuk menutup defisit anggaran.

SUN ini ditawarkan kepada publik dan dibeli oleh penduduk maupun investor asing. Sebagian besar SUN diterbitkan dalam mata uang rupiah, namun sebagian lagi menggunakan valuta asing seperti dolar, yen, atau euro.

Utang bengkak, tapi porsi utang luar negeri menurun 

Hingga hari ini masih ada kesalahpahaman yang menganggap bahwa seluruh utang pemerintah adalah utang luar negeri. Anggapan yang salah kaprah ini agaknya berasal dari kebijakan pemerintahan Orde Baru.

Kala itu, pemerintah lebih banyak menjala utang melalui perjanjian bilateral (antarnegara) atau multilateral (dari lembaga seperti Bank Dunia, CGI, dan IMF), ketimbang memanfaatkan instrumen di pasar keuangan seperti obligasi.

Surat utang pernah digunakan, tapi dalam jumlah mikro. Dekade 1980-an, misalnya, pemerintah menerbitkan seri samurai bond (obligasi dalam mata uang yen), tapi porsinya sangat kecil dibandingkan dengan total utang pemerintah kala itu.

Sejak tahun 2002, pemerintah mulai menerbitkan surat utang untuk membiayai defisit anggaran. Obligasi ini sebagian besar diterbitkan dalam mata uang rupiah, baik untuk pasar domestik maupun internasional.

Pelan-pelan, penerbitan obligasi ini mengubah wajah utang pemerintah. Dominasi utang luar negeri kini digantikan oleh pinjaman domestik (utang kepada penduduk atau lembaga lokal). Selain itu, utang dalam mata uang rupiah kini lebih banyak ketimbang pinjaman dalam valuta asing.

Bank Indonesia mencatat, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah utang-luar-negeri pemerintah cenderung meningkat, tapi rasionya terhadap total utang terus menurun.

Pada 2014, jumlah utang luar negeri hanya Rp1.544 triliun. Jumlah ini cenderung terus merangkak naik hingga menjadi Rp1.858 triliun pada November 2022.

Namun, jika dihitung porsinya terhadap total utang pemerintah, utang-luar-negeri melorot dari semula 59% (tahun 2014) menjadi hanya 38% pada November 2022.

Porsi utang valuta asing juga merosot

Pergeseran serupa juga terjadi pada komposisi utang berdasarkan mata uang. Pada 2014, jumlah utang dalam bentuk valuta asing hanya Rp1.131 triliun. Angka ini membengkak hampir dua kali lipat hingga mencapai Rp2.239 triliun pada November 2022.

Namun, porsi utang valas terhadap total utang pemerintah melorot dari semula 43% pada 2014, menjadi hanya 30% pada November 2022.

Turunnya porsi utang valuta asing ini membuat tekanan utang pemerintah terhadap neraca pembayaran sedikit mereda. Sebelumnya, kebutuhan valuta asing untuk membayar cicilan utang kerap kali ikut menekan nilai tukar rupiah.

Utang bilateral juga anjlok

Penerbitan obligasi ke pasar keuangan sekaligus juga mengurangi ketergantungan kita terhadap utang bilateral dan multilateral. Nilai pinjaman bilateral (pinjaman pemerintah dari negara lain, seperti Jepang atau Cina) turun drastis dari semula Rp359 triliun (pada 2012) menjadi hanya Rp278 triliun, per November 2022.

Jika dihitung rasionya terhadap total utang, pinjaman bilateral anjlok dari 18% pada 2012 menjadi tinggal 4%, sepuluh tahun kemudian.

Merosotnya porsi pinjaman bilateral mengurangi berbagai bentuk “ikatan” kerja sama yang lazimnya menyertai perjanjian pinjaman antarnegara. Sebaliknya, utang komersial melalui instrumen keuangan menghadapkan Indonesia pada gejolak penawaran dan permintaan.

Perlu dicatat, statistik pinjaman bilateral ini belum termasuk pinjaman “antarnegara” yang kemudian masuk ke perusahaan negara (BUMN).

Beberapa perusahaan negara seperti PLN mendapatkan pinjaman dari lembaga multilateral (seperti Asia Development Bank, ADB), yang dapat dicairkan dengan jaminan pemerintah. Begitu pula pinjaman lain, misalnya utang dari Cina yang kemudian masuk ke proyek kereta cepat.

Jika tak dikendalikan, utang yang ditarik oleh perusahaan negara dengan jaminan pemerintah ini, bisa jadi bom waktu di masa depan.

 

Beban Utang Pemerintah Semakin Berat

Artikel sebelumnya

Belanja Pegawai Sandungan Efisiensi Anggaran

Artikel selanjutnya

Baca Juga