JAKARTA — Impor gula pasir kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) sebagai tersangka korupsi.
Kejaksaan menduga Tom terlibat pemberian izin impor gula kristal mentah saat menjabat sebagai menteri periode 2015-2016.
Izin tersebut ditengarai merugikan negara hingga Rp400 miliar — meski Kejaksaan Agung belum menemukan bukti bahwa Tom menikmati aliran dana korupsi.
Bisnis impor gula pasir memang manis. Produksi gula lokal belum dapat memenuhi konsumsi masyarakat dan kebutuhan industri, sehingga impor menjadi solusi cepat.
Rata-rata produksi gula pasir nasional dalam satu dekade terakhir, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 2,18 juta ton per tahun.
Sementara itu, rata-rata konsumsi pada periode yang sama mencapai 6,47 juta ton per tahun. Tiap tahun rata-rata ada jurang 4 juta ton yang harus ditutup.
Saat ini, mengutip data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Indonesia merupakan negara pengimpor gula pasir terbesar di dunia.
Margin nan menggiurkan
Tingginya kebutuhan gula pasir, ditambah selisih yang sangat besar antara harga pasar domestik dan pasar internasional, membuat “bisnis” impor gula sangat menggiurkan.
Sekadar gambaran, rata-rata harga gula pasir di pasar domestik pada September 2024 mencapai Rp17.933/kg. Pada saat yang sama harga gula di pasar dunia hampir sepertiganya, hanya Rp6.782/kg.
Dengan selisih selebar ini, porsi keuntungan importir masih sangat tebal, meski ongkos yang harus ditanggung importir, misalnya, 100% dari harga gula di pasar internasional.
Perlu dicatat, harga gula di pasar spot internasional memang fluktuatif. Jika pasokan sedang langka, harga gula pasir akan melonjak, sekaligus menyunat porsi keuntungan yang dapat dilipat importir.
Selain itu, masih ada tambahan sejumlah biaya lain. Gula yang diimpor umumnya berbentuk gula mentah sehingga perlu ongkos kilang agar gulanya siap dikonsumsi.
Rantai pasoknya juga panjang. Mulai dari importir, kilang pemurnian, distributor, dan pedagang hingga akhirnya masuk ke konsumen (industri). Akibatnya, laba importir terpaksa terbagi dalam setiap tahapan.
Upaya swasembada gula
Upaya menuju swasembada gula telah dimulai ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden No. 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Percepatan tersebut akan dilakukan antara lain melalui peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per Ha dan penambahan areal lahan baru perkebunan tebu hingga seluas 700.000 Ha.
Presiden Prabowo Subianto sepertinya akan melanjutkan upaya swasembada gula yang telah dimulai pendahulunya. Prabowo telah memasukkan gula pasir dalam daftar bahan pangan yang diupayakan mencapai swasembada pada 2028.