JAKARTA — Tak banyak usaha yang berhasil melalui masa pandemi dengan mendongkrak penjualan. Dari yang sedikit itu, salah satunya adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, penguasa pasar mi instan di Indonesia.
Periode 2018 sampai 2022, penjualan Indofood CBP melonjak 69% dari Rp38,4 triliun menjadi Rp64,8 triliun. Di masa ketika wabah korona merajalela, penjualannya bukannya mereda tapi malah semakin menggila. Tahun 2021, pendapatan bersih Indofood CBP mencapai Rp56,8 triliun, naik 22% dari tahun sebelumnya.
Mesin utama bisnis Indofood, tak lain tak bukan, adalah mi instan. Indofood CBP merupakan produsen sejumlah brand mi instan yang sangat populer seperti Indomie, Pop Mie, Supermi, dan Sarimi.
Mi-cepat-saji rata-rata menyumbang dua pertiga dari seluruh penjualan Indofood CBP, dan porsinya cenderung terus meningkat. Pada 2018, sumbangan mi instan terhadap total penjualan hanya 64%, tapi pada 2022 naik menjadi 71%.
Sementara itu, sumbangan dua produk andalan yang lain, yaitu kelompok dairy (produk susu) dan makanan ringan, justru menurun.
Selama periode yang sama, porsi penjualan produk dairy turun dari 20% menjadi 14%, dan makanan ringan dari 7% menjadi 6%.
Kekuatan otot mi instan dalam mendorong penjualan Indofood juga tampak nyata jika kita bandingkan dengan penjualan perusahaan FMCG (fast moving consumer goods) yang lain seperti Unilever.
Tahun 2018 penjualan Unilever lebih tinggi dari Idofood CBP, tapi dua tahun kemudian (2020), Unilever semakin ketinggalan.
Rentang produk Unilever sangat luas mulai dari deterjen (seperti Rinso), sabun (Lifebuoy), pasta gigi (Pepsodent), hingga kecap (Bango) dan teh (Lipton)
Sumbangan produk perawatan rumah dan tubuh terhadap total penjualan Unilever pada 2022 mencapai 66%, sedangkan porsi produk makanan hanya 34%.
Murah dan mudah
Tampaknya, makin banyak konsumen yang mencari makanan yang praktis, mudah dimasak, dan murah.
Kecenderungan ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Menurut perkiraan Euromonitor International, pasar mi instan dunia kini mencapai US$50 miliar, melonjak 52% dari lima tahun lalu.
Data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, konsumsi mi cepat saji penduduk Indonesia terus meningkat. Selama 2019 – 2022, konsumsi mi istan naik 21% dari 3,4 menjadi 4,1 bungkus per kapita per bulan.
Dalam periode yang sama, pengeluaran penduduk untuk mi instan juga naik dari Rp7.858 per kapita per bulan menjadi Rp10.953 atau naik 30%.
Ledakan konsumsi mi cepat saji barangkali juga mencerminkan meningkatnya perilaku belanja konsumen yang lebih hati-hati, lebih price sensitive alias lebih memilih barang dengan harga murah.
Popularitas mi instan yang kini naik kelas, dari kedai kaki lima menjadi menu utama di beberapa restoran, mungkin juga ikut membantu meningkatkan minat konsumen untuk menjadikan bahan pangan ini sebagai masakan di rumah.