JAKARTA – Pemerintah telah lama berikat janji tentang “Indonesia Emas 2045.” Di berbagai podium, para pembuat kebijakan berbicara dengan penuh optimisme tentang “bonus demografi” yang akan mengubah Indonesia menjadi kekuatan ekonomi global. Target pertumbuhan ekonomi, investasi manufaktur, dan transformasi digital digaungkan sebagai kunci kesuksesan. Namun, ada sesuatu yang sangat garing dalam narasi ini: fondasi manusia emas yang dijanjikan sedang retak, dan retak itu dimulai dari halaman belakang negara, tempat ribuan balita dibiarkan telantar tanpa pengasuhan yang layak, tanpa gizi yang cukup, tanpa perlindungan.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 6,07 persen balita di Indonesia dalam status telantar, atau setara dengan lebih dari 1,3 juta balita yang mengalami penelantaran. Tambahan lagi, 15,67 persen balita lainnya masuk kategori “hampir telantar”—artinya, lebih dari satu juta balita Indonesia berada dalam kondisi rawan kedaruratan kesejahteraan. Angka ini bukan sekadar statistik abstrak. Ini adalah delapan juta orang kecil yang hidup dengan hak-hak dasar mereka tercabut: makan tidak teratur, asuhan yang tidak layak, dan pengabaian yang sistemik.
Sementara dokumen kebijakan RPJPN 2025-2045 berbicara tentang Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) sebagai ukuran kesuksesan, realitas lapangan menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda. Anak-anak usia dini yang seharusnya menjadi aset bangsa justru dikurung dalam kemiskinan, gizi buruk, dan pengabaian. Ini bukan hanya masalah sosial—ini adalah kegagalan investasi.
Profil Balita Telantar di Indonesia
Mari kita lihat siapa balita telantar itu sebenarnya dan di mana mereka tinggal.
Pertama, pendidikan orang tua (kepala rumah tangga) memiliki korelasi yang kuat dengan ketelantaran. Data menunjukkan bahwa balita dengan kepala rumah tangga yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD memiliki tingkat ketelantaran sebesar 7,97 persen. Sebaliknya, balita yang kepala rumah tangganya memiliki pendidikan tinggi hanya mengalami ketelantaran sebesar 5,50 persen. Perbedaan 2,47 poin persentase ini cukup signifikan, menunjukkan bahwa pendidikan orang tua berfungsi sebagai “asuransi pengetahuan” terhadap penelantaran anak.
Kedua, pembagian geografis sangat mencengangkan. Balita telantar lebih tersebar di area perdesaan (6,52 persen) dibanding perkotaan (5,75 persen). Namun, disparitas yang paling dramatis terlihat di tingkat provinsi: Bengkulu mencatat 9,54 persen balita telantar, Banten 7,73 persen, dan Maluku 8,61 persen, sedangkan beberapa provinsi seperti Kepulauan Riau hanya 4,06 persen. Ini menunjukkan bahwa penelantaran anak bukanlah krisis nasional yang merata, melainkan krisis yang paling parah di wilayah dengan keterbatasan akses dan infrastruktur sosial.
Ketiga, distribusi pengeluaran (indikator kesejahteraan ekonomi) menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Balita dari rumah tangga 20 persen teratas (terkaya) memiliki tingkat ketelantaran 7,06 persen, lebih tinggi dari balita di kelompok 40 persen menengah (5,44 persen). Fenomena ini mungkin mencerminkan bahwa ketelantaran bukan hanya soal kemiskinan, tetapi juga soal ketiadaan pengawasan karena orang tua bekerja—dan kelas menengah ke atas cenderung memiliki orang tua yang lebih sibuk di sektor formal.
Definisi dan Kriteria Ketelantaran, Apa Artinya Hidup Telantar
Sebelum melanjutkan analisis ekonomi, penting memahami apa yang sebenarnya “telantar” dalam definisi BPS. Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012, balita telantar adalah anak berusia 5 tahun ke bawah yang ditelantarkan orang tuanya dan atau berada di dalam keluarga tidak mampu, yang tidak diberikan pengasuhan, perawatan, pembinaan, dan perlindungan sehingga hak-haknya tidak terpenuhi.
Operasionalisasi ketelantaran menggunakan tujuh kriteria minimum, dan seorang balita dinyatakan telantar jika memenuhi tiga atau lebih kriteria berikut:
- Tidak pernah diberi Air Susu Ibu (ASI)
- Tidak mempunyai bapak atau ibu kandung
- Makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu
- Makan lauk pauk berprotein tinggi kurang dari 4 kali, dan protein hewani kurang dari 3 kali dalam seminggu
- Ibu yang bertanggung jawab terhadap anak bekerja selama seminggu terakhir (tanpa pengawasan yang layak)
- Bila anak sakit, tidak diobati
- Anak dititipkan atau diasuh oleh orang lain atau ditinggal sendiri selama seminggu terakhir
Bayangkan seorang balita laki-laki berusia tiga tahun dari rumah tangga petani di pedalaman Bengkulu. Ibunya bekerja di sawah sejak fajar hingga sore hari. Anak ini dititipkan pada nenek yang sudah uzur dan sibuk mengurus rumah. Makanan yang diberikan hanya nasi dan ikan asin setiap hari—bukan karena pilihan, tetapi karena keterbatasan ekonomi. Ketika demam, karena rumah jauh dari pusat kesehatan dan orang tua tidak punya biaya, anak itu tidak diobati. Akibatnya, demam berkembang menjadi infeksi yang melemahkan sistem imunnya. Itulah balita telantar. Bukan cerita dongeng. Bukan statistik yang bisa diabaikan.
Korelasi dengan Akses Dasar
Ketelantaran tidak berdiri sendiri. Data menunjukkan bahwa balita telantar juga mengalami deprivasi akses dasar yang sistemik.
Data tentang pengasuhan tidak layak melengkapi gambaran ini. Sekitar 4,58 persen balita Indonesia mendapatkan pengasuhan tidak layak, didefinisikan sebagai balita yang pernah dititipkan kepada anak berusia di bawah 10 tahun tanpa pengawasan orang dewasa selama 1 jam, atau ditinggalkan sendiri dalam seminggu terakhir. Namun, di perdesaan, angka ini naik menjadi 5,34 persen. Yang lebih mencengangkan: balita dengan ibu yang bekerja mengalami pengasuhan tidak layak sebesar 7,05 persen, hampir 2,75 kali lebih besar dari balita dengan ibu tidak bekerja (2,56 persen).
Ini menunjukkan dilema yang tidak terpecahkan: orang tua bekerja karena miskin, tetapi bekerja membuat anak mereka telantar.
Depresiasi Aset Manusia dan Opportunity Cost
Di sinilah kita memasuki domain yang paling menggigit: ekonomi ketelantaran anak. Jangan dengarkan cerita yang memelas-melas tentang “kasihan anak-anak.” Dengarkan cerita tentang kerugian ekonomi nasional yang nyata.
Balita telantar hari ini adalah tenaga kerja low-skilled tahun 2045. Penelitian dari berbagai institusi ekonomi menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami malnutrisi dan pengabaian dini memiliki kemampuan kognitif yang terhambat. Mereka tidak akan bisa bersaing di pasar kerja digital yang semakin sophisticated. Penelitian dari Council of Economic Advisers (2015) yang dikutip dalam pendahuluan laporan BPS menunjukkan bahwa setiap satu dolar yang diinvestasikan dalam pengembangan anak usia dini menghasilkan return sebesar 8,60 dolar. Logika ini berbalik: setiap balita yang telantar adalah minus 8,60 dolar dari potensi pertumbuhan ekonomi nasional.
Jika kita kalkulasi sederhana: dengan 1,3 juta balita telantar saat ini, Indonesia sedang kehilangan hingga 11 miliar dolar dari potensi pertumbuhan ekonomi di masa depan. Itu hanya estimasi kasar, tetapi nilainya setara dengan APBN di sektor pertanian dan perikanan tahun 2024.
Masalahnya lebih dalam lagi. Balita telantar berisiko tinggi mengalami stunting (kerdil)—yakni panjang atau tinggi badan kurang dari standar usia mereka. Stunting bukan hanya masalah tinggi badan. Stunting adalah proxy untuk underdevelopment otak. Seorang balita yang stunted pada usia 0-2 tahun akan mengalami defisit kognitif permanen. Daya konsentrasi mereka rendah. Kapasitas belajar mereka terbatas. Kecepatan pemrosesan informasi mereka lambat. Ketika mereka dewasa dan memasuki pasar kerja, mereka tidak akan mampu menguasai skill teknis yang dibutuhkan era digital.
Ini bukan “depresiasi aset” dalam arti biasa. Ini adalah mutilasi genetik sosial: potensi otak manusia yang hilang selamanya.
Kritik Kebijakan, Kebocoran dalam Sistem Perlindungan Sosial
Sekarang kita sampai pada pertanyaan yang menyakitkan: Ke mana anggaran perlindungan sosial itu pergi?
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2025, sekitar 13,21 persen rumah tangga anak usia dini pernah menerima Program Keluarga Harapan (PKH). Angka ini seharusnya menggembirakan—pemerintah telah mencapai 20,37 persen dari rumah tangga 40 persen terbawah (paling miskin). Tetapi di sini terletak masalahnya: jika program ini sudah menjangkau kelompok termiskin, mengapa tingkat ketelantaran masih setinggi 6,07 persen?
Ini menunjukkan dua kemungkinan:
Pertama, mismanagement atau leakage dalam penyaluran. Sebagian dana PKH tidak sampai ke tangan penerima yang sebenarnya, atau jumlahnya tidak cukup untuk mengangkat rumah tangga dari zona ketelantaran. Bantuan Rp3 juta per tahun untuk keluarga dengan anak usia dini mungkin terdengar cukup, tetapi untuk keluarga dengan 4-5 anggota rumah tangga, itu hanya Rp62.500 per orang per bulan—jauh di bawah standar kebutuhan nutrisi minimum.
Kedua, program dirancang untuk kuantitas, bukan kualitas. PKH adalah transfer uang tunai bersyarat, bukan intervensi holistik. Program ini tidak disertai dengan pelatihan parenting, edukasi nutrisi, atau akses ke layanan kesehatan yang terkoordinasi. Akibatnya, bahkan ketika rumah tangga menerima bantuan, orang tua tetap tidak tahu cara optimal menggunakan uang itu untuk kesejahteraan anak.
Data lainnya juga mencerminkan gap dalam sistem. Akses akta kelahiran anak usia dini secara nasional mencapai 87,79 persen, tetapi di kelompok 40 persen terbawah hanya 85,79 persen, dan di perdesaan hanya 86,29 persen. Ini berarti lebih dari 1,3 juta anak usia dini tidak memiliki akta kelahiran—mereka tidak resmi, tidak legal, tidak terhitung dalam sistem. Balita tanpa akta kelahiran otomatis terputus dari akses ke program sosial, vaksinasi, dan pendaftaran kesehatan formal.
Taman Penitipan Anak (TPA) yang seharusnya menjadi solusi untuk balita yang ditinggal bekerja orang tuanya? 98,90 persen adalah TPA swasta. Artinya, negara hampir tidak hadir. Anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki akses ke TPA karena biayanya mahal. Mereka terus dititipkan pada tetangga atau ditinggalkan sendirian—dan menjadi telantar.
Peringatan, Jika Indonesia Tidak Bergerak
Jika profil balita telantar ini tidak diperbaiki dengan urgensi dan sistemik, Indonesia tidak akan mencapai “Indonesia Emas.” Sebaliknya, Indonesia akan menjadi Indonesia Cemas—negara yang memiliki populasi muda yang secara masif tidak productive, kognitif yang tertinggal, dan physical health yang rapuh.
Proyeksi Penduduk BPS menunjukkan bahwa pada 2025, satu dari 10 penduduk Indonesia adalah anak usia dini—sekitar 31 juta orang. Ini adalah potential demographic dividend yang luar biasa besar. Namun, jika enam persen dari mereka (1,86 juta anak) tumbuh dalam kondisi telantar, dan 15,67 persen (4,87 juta anak) hampir telantar, maka dalam 20 tahun, Indonesia akan memiliki angkatan kerja sebesar 6,7 juta orang yang cognitive-impaired, skill-deficient, dan health-burdened.
Biaya sosial dan ekonomi dari scenario ini sangat besar. Seorang SDM yang stunted dan terabaikan akan:
- Produktivitas kerja lebih rendah 20-30 persen
- Tingkat pengangguran dua kali lebih tinggi
- Rentan terhadap penyakit kronis yang mengakibatkan beban kesehatan masyarakat
- Lebih mudah terjebak dalam kemiskinan intergenerasi
Jika Pemerintah terus mengabaikan fenomena ini, Indonesia tidak akan pernah memasuki “golden age” ekonomi. Sebaliknya, ia akan terjebak dalam low-skill equilibrium: mayoritas angkatan kerja tidak mampu mengisi pekerjaan dengan nilai tambah tinggi, sehingga investasi manufaktur dan teknologi akan selalu mengalir ke negara lain.
Rekening Emas yang Bobol
Negara telah menginvestasikan triliunan rupiah dalam infrastruktur, pendidikan formal, dan kesehatan publik dengan nama-nama program yang megah. Tetapi ada bobol besar di fondasi: 6,07 persen balita telantar, 15,67 persen hampir telantar, 10,67 persen tanpa akta kelahiran, dan jutaan anak dititipkan pada pengasuh yang tidak memadai.
Ini bukan cerita tentang kemurahan hati atau moral. Ini adalah cerita tentang management yang tidak kompeten. Pemerintah membangun gedung pencakar langit dengan fondasi yang berlubang. Ketika generasi 2045 tiba, mereka akan menjadi menara yang roboh, bukan “Indonesia Emas.”
Salah satu pembuat kebijakan harus duduk di depan seorang ibu muda dari Bengkulu atau Maluku—yang anaknya telantar, malnutrisi, dan ditinggalkan setiap hari—dan jelaskan mengapa ini adalah bagian dari “investasi generasi emas.” Mereka tidak akan menemukan jawaban yang masuk akal.
Karena tidak ada.











