JAKARTA — Barangkali, inilah saat-saat paling sulit bagi bank sentral untuk menetapkan suku bunga. Kombinasi antara dampak pandemi dan goncangan pasokan akibat perang Rusia Ukraina telah mengacak-acak hampir semua indikator ekonomi – sehingga mengirimkan “sinyal” yang saling bertabrakan.
Tingkat inflasi, misalnya, terus merangsek naik. Di saat yang sama pertumbuhan ekonomi malah cenderung melemah, bahkan terancam resesi.
Dalam situasi seperti itulah, The Federal Reserve (bank sentral Amerika Serikat) menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin menjadi 2,5%, dalam sidang 27 Juli, kemarin. Selama lima bulan terakhir, The Fed telah empat kali menaikkan suku bunga dollar, dari beberapa poin di atas 0% menjadi 2,5% — keputusan yang dinilai sangat agresif.
Bagi The Fed, keputusan mendongkrak suku bunga besar-besaran itu harus ditempuh untuk mengendalikan tekanan inflasi yang terus menanjak. Hingga Juni 2022, inflasi tahunan AS mencapai 9,1%, rekor tertinggi selama 40 tahun terakhir.
Meski memahami adanya penurunan belanja masyarakat dan produksi, The Fed menilai, kenaikan suku bunga harus dilakukan lantaran pasar tenaga kerja masih sangat ketat. Saat ini, tingkat pengangguran AS tercatat sangat rendah, hanya 3,6%, mendekati rasio full employment. Bagi The Fed, ini merupakan pertanda bahwa perekonomian AS masih ngebut, sehingga masih perlu direm.
Meski demikian, sebagian kalangan pada industri keuangan khawatir, pengereman yang agresif itu bukan hanya membuat ekonomi melamban, tapi terhenti seketika. Kenaikan suku bunga itu akan menghambat konsumsi sehingga mendorong AS yang sudah berada di tubir resesi, masuk ke dalam jurang.
Data output ekonomi mencatat, sepanjang kuartal pertama 2022 perekonomian AS tidak lagi tumbuh, tapi mengkerut 1,6%. Jika dalam kuartal kedua ini pertumbuhan juga minus, maka secara teknis perekoniomian AS akan masuk ke dalam resesi (dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif). Menurut jadwal, kinerja perekonomian AS akan diumumkan pekan ini.
Namun Ketua The Fed Jerome Powell menampik spekulasi soal resesi ini. Bagi Powell, resesi merupakan penurunan yang meluas pada sebagian besar sektor industri, dan bertahan dalam beberapa bulan. “Yang sekarang terjadi bukan itu,” katanya, “Pasar tenaga kerja menjadi sinyal jelas bahwa pertumbuhan ekonomi masih sangat kuat.”
Update terbaru: pada Kamis, 28 Juli 2022 pukul 19:40 WIB, Departemen Perdagangan AS mengumumkan perkiraan awal bahwa perekonomian AS tumbuh minus 0,9% sepanjang kuartal kedua 2022. Artinya, secara teknis, AS memasuki masa resesi ekonomi.