JAKARTA — Jangan buru-buru mengernyitkan dahi saat mendengar kata “Lansia”. Dalam narasi standar birokrat, mereka sering dilabeli sebagai kelompok rentan, beban negara, atau sekadar objek bansos. Namun, bagi mata pebisnis yang jeli, dokumen “Statistik Penduduk Lanjut Usia 2025″ yang dirilis BPS ini bukan sekadar laporan sosial. Ini adalah peta harta karun.
Di balik uban dan kulit keriput itu, tersembunyi aset properti terbesar di republik ini dan deposito yang tak tersentuh resesi. Di mana para “Lansia Sultan” ini bersembunyi?
Mitos Pasar dan Realitas Pahit
Data proporsi penduduk lanjut usia Indonesia tahun 2025 telah menembus angka psikologis 44,6 juta lansia di 2025 (atau 11,93 persen dari total populasi 374 juta jiwa). Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah sinyal bagi industri healthcare, retirement home, hingga popok dewasa bahwa kolam pasar mereka makin luas.
Namun, Silver Economy di Indonesia adalah pasar yang penuh jebakan (trap). Tidak semua yang tua itu “berisi”. Fakta: kue ekonomi lansia sangat timpang.
Geospasial Cuan: “Old Money” vs “Old Poor”
Jika Anda adalah Direktur Pemasaran yang hendak menjajakan asuransi premium atau vila peristirahatan, buang jauh-jauh peta demografi standar.
Provinsi seperti DI Yogyakarta dan Jawa Timur konsisten menjadi juara dalam persentase lansia. Tapi hati-hati, ada perbedaan fundamental. Yogyakarta adalah surga bagi para pensiunan birokrat dan akademisi—kaum fixed income yang aman secara finansial. Mereka adalah target pasar leisure dan kesehatan preventif.
Sebaliknya, geser sedikit ke wilayah Timur seperti NTT atau Papua. Di sana, tingginya angka lansia bukan pertanda kemakmuran, melainkan residu dari migrasi kaum muda yang kabur ke kota. Di wilayah ini, lansia bukan menikmati masa pensiun sambil menyiram bunga, melainkan masih harus memegang cangkul di ladang hingga punggung mereka bengkok. Data tentang “Status Bekerja Lansia” mayoritas lansia di sektor pertanian bekerja bukan karena hobi, tapi karena dapur harus tetap ngebul.
Ilusi Kemandirian Finansial
Berapa persen lansia yang hidup dari Jaminan Pensiun atau hasil investasi? Angkanya kemungkinan besar masih satu digit atau belasan persen saja sekitar 5,43 persen. Sisanya? Mayoritas mutlak masih hidup dari Transfer Uang dari anak atau menantu.
Ini adalah lonceng bahaya bagi ekonomi makro. Artinya, Silver Economy kita sebagian besar didanai oleh Sandwich Generation. Uang yang dibelanjakan lansia untuk obat dan makanan sejatinya adalah uang anak muda yang “disishkan” dari tabungan masa depan mereka. Bagi industri, ini berarti daya beli lansia sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi anak-anak mereka. Jika anak di-PHK, maka lansia runtuh.
Bakar Uang di Masa Tua
Ironi lain tersaji di sektor kesehatan. Kepemilikan jaminan kesehatan (BPJS) mungkin tinggi. Tapi jaminan kesehatan tidak membayar kenyamanan. Lansia di kota besar (Kuintil pengeluaran teratas) menghabiskan uang besar untuk layanan kesehatan non-BPJS.
Lebih sinis lagi, sekitar 11,2 persen belanja lansia adalah rokok dan tembakau. Masih banyak lansia pria yang membakar uang pensiunnya untuk rokok, alih-alih untuk gizi. Ini adalah “bocoran” pengeluaran lansia.
Jangan Salah Bidik
Pasar lansia Indonesia terbelah dua.
- Segmen Premium: Terpusat di Jawa (Jabodetabek, DIY, Surabaya) dan Bali. Ini adalah target Retirement Village dan RS Jantung swasta. Mereka punya aset, punya pensiun, dan punya kuasa atas dompet sendiri.
- Segmen Subsisten: Tersebar di pedesaan Jawa dan Luar Jawa. Ini adalah pasar bagi produk FMCG sachet murah, yang pembayarannya pun tergantung kiriman wesel dari anak di kota.
Bagi Generasi Z, pesannya lebih menohok. Siapkan Dana Pensiun (DPLK) atau saham blue chip dari sekarang. Jika tidak, Anda hanya akan menambah baris statistik “Lansia Telantar” di tahun 2050 nanti.







