JAKARTA – Hingga saat ini, sumbangsih ekspor terhadap PDB masih sangat kecil, walaupun pekikan surplus neraca perdagangan begitu nyaring. Pada kuartal I-2022 misalnya, kontribusi ekspor terhadap PDB mencapai 23,1%. Tapi setelah didiskon oleh impor yang 20,5%, kontribusi bersihnya hanya 2,6%.
Ekspor bersih itulah yang dihitung dalam PDB. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap barang impor masih sangat tinggi. Akibatnya, semakin tinggi nilai ekspor, impornya pun akan ikut terkerek.
Di luar ekspor komoditas ekstraktif, yaitu yang bersumber dari alam, barang olahan yang dijual ke luar negeri umumnya fokus di proses akhir. Sementara nilai tambah di sektor antara (intermediate industry) masih dinikmati oleh negara lain. Pada industri otomotif misalnya, walaupun rajin ekspor, tapi di Indonesia hanya merakit dari barang setengah jadi sampai berbentuk mobil. Barang setengah jadi didatangkan dari luar negeri.
Pada 2021 misalnya, porsi ekspor barang hasil industri Indonesia terhadap total ekspor mencapai 79,3% atau senilai US$172,9 miliar. Pada periode yang sama, impor bahan baku penolong berkontribusi 70,4% dari total impor.
Ini cerita lama yang tak pernah usang. Impor bahan baku dan bahan penolong selalu mendominasi barang yang didatangkan dari luar negeri. Di sinilah pentingnya mengembangkan industri pengolahan di dalam negeri, sehingga mampu menekan ketergantungan pada barang impor setengah jadi.