JAKARTA – Tingginya permintaan mobil listrik yang memompa kebutuhan baterai, tak sebanding dengan produksi litium global. Sehingga sepanjang 2022, harga komoditas tersebut terus merangkak naik. Puncaknya pada 14 November 2022, ketika harga litium karbonat mencapai US$84.500 per ton. Namun pada awal tahun ini, langkah Cina menghentikan subsidi mobil listrik di negerinya membuat permintaan global goyah lantaran persediaan kembali meningkat.
Lonjakan harga litium karbonat menggelitik para pemimpin negara-negara Amerika Latin, sebagai wilayah dengan sumber daya litium terbesar di dunia. Sejumlah pemimpin mengemukakan gagasan terbentuknya kartel litium, sejenis OPEC pada komoditas minyak mentah. Bolivia, Chili dan Argentina merupakan negara-negara dengan sumber daya litium terbesar.
Jika kartel litium terbentuk, peta ekonomi global berpotensi berubah. Saat ini pasar litium memiliki ketergantungan kepada Cina yang menguasai hampir 60% kapasitas dunia untuk memurnikan dan memproses logam baterai listrik.
Produksi litium global meningkat pesat pasca kesepakatan Paris pada 2015. Pada 2021, produksinya telah mencapai 107 ribu ton. Tahun lalu, produksi diestimasikan terus tumbuh hingga menjadi 130 ribu ton.
Kontribusi Australia terhadap total produksi litium dunia pada 2022 mencapai 46,9%. Sementara Chili diestimasikan ada di peringkat berikutnya dengan produksi 39 ribu ton atau 30,0% dari produksi global. Chili juga tercatat sebagai negara dengan cadangan (reserve) litium terbesar di dunia. Jumlah litium yang dapat diekstraksi di negara tersebut diperkirakan mencapai 9,3 juta ton atau 35,8% dari total cadangan global.
Dalam 12 tahun terakhir, telah terjadi transisi penggunaan litium. Pada 2010, litium lebih banyak digunakan untuk memoles keramik dan kaca. Porsinya terhadap total pemanfaatan litium mencapai 31,0%. Namun pada 2021, Sebagian besar litium atau 74,0% digunakan untuk memproduksi baterai, dari hanya 23,0% pada 2010.
Untuk menjadi “Raja Baterai Dunia”, Indonesia kekurangan satu komponen penting: litium. Indonesia telah tercatat sebagai importir litium, logam penting yang menjadi satu di antara bahan baku baterai listrik. Bahkan pada 2022, defisit neraca perdagangan litium Indonesia tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, yaitu US$6,1 juta. Impornya makin laju, sementara ekspor nihil.