JAKARTA — Setelah tiga tahun lesu dibekap pandemi, industri wisata kembali menggeliat. Permintaan kamar hotel melambung, terutama di daerah yang selama ini menjadi darling wisatawan seperti Yogya, Bali, Bandung, Solo – begitu pula Lombok, Labuan Bajo dan Danau Toba.
Jika kita rajin menyusuri laman aplikasi perjalanan seperti Traveloka dan Tiket.com, terasa betul tarif hotel pelan-pelan merayap naik. Kamar hotel yang satu atau dua tahun lalu tarifnya masih Rp300 ribuan, beringsut naik menjadi Rp400 ribuan, bahkan Rp500.000 pada peak season.
Menjelang musim libur Juni Juli mendatang, Datanesia mencoba membandingkan stok dan tarif hotel di dua destinasi utama Pulau Jawa, yaitu Yogya dan Solo.
Kedua kota budaya ini sejak lama telah menjadi magnit besar yang menyedot banyak wisatawan. Pada musim libur, hotel di kedua kota ini kerap kali sudah habis dipesan, fully-book.
Datanesia membandingkan tarif terendah pada tiap hotel yang ditawarkan melalui aplikasi Traveloka. Pengolahan data berikut berdasarkan pada informasi yang diakses pada 10 Mei lalu, untuk periode menginap tanggal 1 – 2 Juli mendatang.
Tarif hotel Solo hanya 60% hotel Yogya
Dari segi pasokan, jumlah hotel di Yogya lebih melimpah. Jika kita menganggap penawaran hotel di Traveloka dapat mewakili populasi, maka untuk kelas hotel menengah (bintang dua dan tiga), pasokan di Yogya hampir dua kali lipat dari Solo.
Untuk segmen kelas atas (bintang-4 dan 5), Yogya juga menawarkan lebih banyak pilihan, walaupun selisihnya dengan Solo, tidak begitu besar.
Meski pasokannya lebih terbatas, tarif hotel di Solo ternyata tidak lebih mahal dari Yogya. Justru sebaliknya, harga kamar hotel di Solo rata-rata lebih murah, hanya sekitar 60 – 70% dari Yogya.
Ada kecenderungan, makin tinggi segmen kelasnya, makin besar pula selisih harganya. Pada hotel bintang dua, misalnya, tarif hotel di Solo rata-rata 64% dari Yogya. Namun untuk bintang lima, tarifnya 73% dari Yogya.
Yogya unggul, Solo berpotensi menyusul
Selama ini, industri wisata Yogya dianggap lebih unggul ketimbang Solo. Selain atraksinya lebih komplet, kulinernya lebih beragam, Yogya punya kawasan pedestrian seperti Malioboro, dan lebih dekat dengan Borobudur yang namanya sudah mendunia.
Spot-spot nongkrong di Yogya juga terus bermunculan. Selalu saja ada yang baru. Seperti tak ada matinya.
Semua daya tarik ini membuat anak-anak muda, terutama mereka yang takut ketinggalan (fear of missing out alias fomo), secara bergelombang terus menyerbu ibu kota daerah istimewa itu.
Data perbandingan tarif kamar dan pasokan hotel di atas menegaskan keunggulan Yogya. Meski pasokannya melimpah, tarif kamar hotel di Yogya malah 1,5x lebih mahal dari Solo. Ini mencerminkan tingkat permintaan hotel di Yogya yang jauh lebih tinggi ketimbang Solo.
Namun penting juga dicatat, dengan biaya akomodasi yang lebih terjangkau, Solo punya potensi menarik lebih banyak wisatawan. Terutama, untuk para pelancong yang anggarannya terbatas atau mereka yang ingin mencari pengalaman menjelajah daerah dengan biaya murah.
Ini bisa mendorong pasar wisata Solo tumbuh lebih cepat. Apalagi, dengan adanya tol Trans-Jawa, akses Solo saat ini lebih terbuka ketimbang Yogya.
Selain itu, belakangan Solo juga mampu menciptakan banyak atraksi wisata baru. Renovasi kebun binatang, misalnya. Atau pembangunan masjid raya yang megah, dan pagelaran sejumlah festival budaya yang mencerminkan besarnya tingkat toleransi beragama di kota itu.
Tanda-tanda bahwa Solo bisa tancap gas mulai tampak pada libur lebaran akhir April lalu. Tidak sari-sarinya, Solo yang biasanya adem ayem, mendadak ramai, penuh pengunjung. Jalanan macet di mana-mana.
Sebaliknya Yogya yang biasanya meriah, justru terlihat lengang.
Akankah parIwisata Solo bakal melampaui Yogya? Jalan untuk menuju ke situ mungkin masih jauh, tapi bukan hal yang mustahil.