JAKARTA – Selama 1989-2022, harga aluminium selalu di atas harga bauksit. Harga bauksit tertinggi selama 34 tahun terakhir, misalnya sebesar US$39 per ton (pada 2017). Namun, harga aluminium terendah dalam periode yang sama saja, yaitu sebesar US$1.139 per ton (pada 1993) masih 29,6 kali lebih besar dari harga bauksit tertinggi.
Rasio tertinggi harga aluminium terhadap bauksit selama 34 tahun terakhir terjadi pada 2006. Pada saat itu harga bauksit hanya sebesar US$ 8 per ton, sementara harga aluminium per tonnya mencapai US$2.570. Sehingga perbandingan harga bauksit terhadap aluminium mencapai 1:322. Sementara rasio terendah harga aluminium terhadap bauksit terjadi pada 2015. Ketika itu, harga aluminium hanya sebesar US$1.665 per ton sedangkan harga bauksit per tonnya sebesar US$33. Sehingga perbandingan harga bauksit terhadap aluminium “hanya” 1:51.
Cadangan bauksit Indonesia mencapai satu juta ton, terbesar keenam global. Produksinya mencapai 21.000 ton atau kelima terbesar di dunia. Namun, produksi aluminium pada tahun yang sama ‘hanya’ 1.100 ton saja.
Selama 1989-2022, neraca perdagangan Indonesia untuk komoditas bauksit selalu mencetak surplus, kecuali pada 2015 dan 2016. Pada 2022, neraca perdagangan Indonesia surplus US$622 juta, tertinggi selama 33 tahun terakhir.
Pada periode 1989-2022, neraca perdagangan aluminium Indonesia juga pernah mencetak 18 kali surplus, tepatnya pada 1989-2007, kecuali 1997. Sebaliknya, sejak 2008 neraca komoditas aluminium justru selalu defisit, dengan yang terbesar pada 2022, yaitu mencapai US$1,5 miliar.
Lonjakan pertumbuhan neraca perdagangan bauksit justru dimulai harga bauksit internasional sedang turun. Pada 2006 misalnya, saat harga bauksit internasional hanya US$8 per ton, neraca perdagangan bauksit Indonesia justru tumbuh 150,2%, menjadi US$58 juta dari tahun sebelumnya yang US$ 23 juta. Pada 2007, neraca perdagangan bauksit surplus US$105 juta (naik 81,7%) di saat harga bauksit hanya US$ 9 per ton.
Lonjakan berikutnya terjadi pada 2018, ketika harga bauksit turun menjadi US$ 30,5 per ton (dari tahun sebelumnya US$ 38,5 per ton). Pada saat ini, neraca perdagangan Indonesia justru tumbuh 300% menjadi US$263 juta.
Indonesia merupakan negara kedua pengekspor bauksit terbesar dunia. Selama 2017-2021, bauksit yang diekspor dari Indonesia bernilai sekitar US$2 miliar. Selain Indonesia, negara-negara pengekspor bauksit terbesar dunia termasuk India, Brasil, Guyana, Jamaika, Turki, Montenegro, Ghana dan Yunani.
Namun Indonesia bukanlah negara pengekspor aluminium terbesar dunia. Negara yang masuk dalam daftar ini yaitu Cina, Amerika Serikat, India dan Rusia. Sementara Jerman, Kanada, Italia, Uni Emirat Arab, Prancis dan Belanda, merupakan negara-negara tanpa cadangan bauksit, namun menjadi pengekspor aluminium terbesar global.
Amerika Serikat dan Cina juga merupakan negara pengimpor bauksit dan aluminium terbesar global. Aluminium merupakan bahan baku penting bagi berbagai industri, antara lain industri aviasi, industri galangan kapal, hingga industri semi konduktor.
Berdasarkan struktur pohon industri yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hasil industri produk olahan bauksit di Indonesia terbilang cukup beragam. Produk-produk yang belum diproduksi dalam negeri antara lain: variasi bentuk dari batang logam (aluminium primer) dan penempaan paduan batang logam (aluminium sekunder), termasuk bilah aluminium dan tabung aluminium. Sementara produk akhir aluminium yang belum ada industrinya saat ini antara lain semikonduktor, LED, kaca safir dan bahan abrasif.
Pada kuratal II-2022, realisasi investasi asing untuk sektor logam dasar mencapai US$3 miliar, tertinggi selama 32 tahun terakhir. Kontribusinya mencapai 27,3% terhadap total investasi asing di kuartal yang sama. Sementara pada kuartal I-2023, realisasi investasi asing untuk sektor logam dasar sekitar US$3 miliar atau 24,3% dari total investasi asing di triwulan yang sama.
Pada kuartal I-2023, investasi dalam negeri sekitar Rp4 triliun atau menyumbang 2,4% terhadap total investasi domestik. Namun selama 32 tahun terakhir, nilai investasi terbesar dari sektor logam dasar per kuartalnya justru terjadi pada kuartal IV-2016, yaitu sebesar Rp5 triliun atau 9,4% dari total penanaman modal dalam negeri saat itu.