JAKARTA – Sejalan dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi digital dalam interaksi, nilai ekonomi digital juga terus menanjak, nilai ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di antara negara-negara Asia Tenggara mencapai US$70 miliar. Angka tersebut berkontribusi 6% terhadap PDB Indonesia, dan diyakini nilainya akan terus meningkat seiring dengan semakin berkembangnya teknologi digital di Indonesia.
Aktivitas terbesar ekonomi digital di Indonesia didorong oleh e-commerce. Angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021, porsinya 75,7% dari total ekonomi digital Indonesia. Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM Indonesia.
Berdasarkan Statistik E-commerce BPS Juni 2021, dari 8,2 juta unit usaha yang disurvei termasuk UMKM, baru 29% yang telah mengintegrasikan usahanya ke dalam e-commerce. Padahal, pada 2022, pemerintah menargetkan minimal ada 20 juta UMKM yang masuk ke dalam marketplace atau platform digital.
Jika melihat sebaran usaha yang telah melakukan e-commerce, sebagian besar berlokasi di wilayah Jawa, yaitu 2,4 juta unit dari seluruh unit usaha di Indonesia. Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai wilayah dengan unit usaha yang telah melakukan e-commerce terbanyak dengan jumlah mencapai 473.283 unit usaha (20%). Disusul oleh Jawa Timur dengan 467.996 unit usaha (19,8%), lalu Jawa Tengah sebanyak 406.911 (17,2%) unit usaha dan DKI Jakarta sebanyak 218.582 unit usaha (9,3%).
Namun, DKI Jakarta merupakan wilayah dengan persentase tertinggi unit usaha yang telah melakukan e-commerce. Hampir separuh dari total 513.103 unit usaha yang ada di Jakarta telah melakukan e-commerce (42,6%).
Menurut data BPS, masih sedikitnya unit usaha yang bergabung ke dalam e-commerce lebih banyak disebabkan karena merasa lebih nyaman berjualan secara langsung, selain tidak tertarik berjualan online. Kurangnya pengetahuan atau keahlian menjadi alasan ketiga terbanyak yang menghambat bergabungnya unit usaha ke dalam e-commerce.
OECD Digital Economy Outlook 2020 juga menyebutkan: keterampilan/keahlian serta tingkat adopsi teknologi masih menjadi tantangan utama dalam digitalisasi ekonomi.
Faktor lain yang menghambat aktivitas digital ekonomi, terutama bagi e-commerce, adalah regulasi dan prosedur dalam bisnis lintas batas (cross border business) yang rumit, mahal dan time-consuming. Bagian ini meliputi bea cukai dan aktivitas logistik penerimaan dan pengiriman barang.
Dengan beragam kendala UMKM masuk ke dunia digital, namun harus diakui bahwa e-commerce memang membuka peluang pasar yang lebih luas, tidak hanya pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Untuk menjangkau pasar yang lebih luas itu, tentu membutuhkan aktivitas pengiriman dan penerimaan barang melalui jasa logistik yang biayanya tidak murah, terlebih bagi UMKM.
Laporan Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia menyebutkan, kinerja sektor logistik Indonesia pada 2018 berada di peringkat 42. Masih tertinggal dari Thailand, Vietnam dan Malaysia yang masing-masing berada di posisi 32, 39 dan 41.
Sementara OECD Competition Assessment Reviews: Logistics Sector in Indonesia tahun 2021, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki biaya pengiriman yang relatif tinggi, yang pada gilirannya mengarah pada biaya impor dan ekspor yang lebih tinggi. Porsi biaya logistik terhadap PDB di Indonesia mencapai 21% pada tahun 2019, di mana Thailand hanya 16% pada 2019, dan rata-rata global hanya 10 hingga 12%.
Untuk mendukung digitalisasi UMKM, perlu ada solusi dalam mengatasi beragam hambatan. Pemerintah dan dunia usaha tidak bisa jalan sendiri-sendiri dalam mendukung sektor usaha yang menjadi penopang perekonomian nasional tersebut. Selain itu, dunia usaha juga dapat mendorong inisiasi asosiasi UMKM di level internasional, minimal Asia. Dengan harapan, terbentuk ekosistem rantai pasok yang dapat mewadahi UMKM di kawasan, termasuk dalam kerja sama usaha perdagangan.
Upaya dunia usaha itu tentu sulit terealisasi tanpa dukungan pemerintah. Begitu pun sebaliknya. Keduanya harus bersama di meja yang sama.