JAKARTA – Pandemi COVID-19 yang melanda bumi sejak 2019 menunjukkan kerentanan sistem kesehatan di banyak negara. Alat kesehatan untuk mengendalikan wabah penyakit tampak tak memadai. Ketidakmampuan memproduksi vaksin, bahkan membuat Indonesia harus bergantung terhadap produk impor yang ikut menggerus neraca perdagangan sektor farmasi hingga defisit makin dalam.
Di Indonesia, pandemi COVID-19 juga menjadi pelecut bagi industri jasa kesehatan dan farmasi untuk tumbuh. Pada 2020 dan 2021, ketika pertumbuhan ekonomi terkontraksi, kinerja kedua kelompok industri tersebut cemerlang dengan pertumbuhan industri jasa kesehatan mencapai puncaknya dalam 10 tahun terakhir, yaitu 11,56% (2020) dan industri farmasi sebesar 9,61% (2021).
Sayangnya pertumbuhan itu ditopang oleh impor. Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan produk farmasi sejak 1989 hingga 2022. Defisit
tertinggi terjadi pada 2021 yaitu US$3,8 miliar dengan nilai ekspor sebesar US$556,2 juta, sementara nilai impor mencapai US$ 4,4 miliar.
China, Amerika Serikat dan Jerman menjadi tiga negara terbesar yang menjadi asal negara impor produk farmasi Indonesia. Selama lima tahun terakhir, China memasok produk farmasi ke Indonesia senilai US$2,6 miliar, Amerika Serikat senilai US$1,0 miliar dan Jerman senilai US$580,7 juta.
Minat investasi, baik oleh para pemodal domestik maupun asing terhadap sektor farmasi cenderung masih rendah. Porsinya masih di bawah 10% terhadap total investasi. Pada 2022 misalnya, investasi domestik di sektor farmasi mencapai Rp28,9 triliun atau 5,2% terhadap total Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sementara investasi asing yang masuk di sektor farmasi mencapai US$4,5 miliar atau 9,9% dari penerimaan modal asing (PMA). Nilai nvestasi asing pada 2022 terbesar dalam 19 tahun terakhir.