Gairah Smelter di Maluku Utara

JAKARTA – Maluku Utara resmi terbentuk pada 4 Oktober 1999, melalui Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Perekonomian provinsi dengan ibu kota Sofifi ini sebagian besar bersumber dari perekonomian rakyat yang bertumpu pada sektor pertanian, perikanan dan jenis hasil laut lainnya. Sebagai negeri rempah-rempah, komoditas utama yang mendukung nadi perekonomian Maluku Utara meliputi kopra, buah pala, cengkeh. Selain itu, ada komoditas perikanan, dan juga pertambangan seperti emas, tembaga dan nikel.

Indonesia ditengarai menyimpan cadangan nikel terbesar di dunia. Data badan survei geologi Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survei menyebutkan, produksi nikel Indonesia diperkirakan 1 juta metrik ton pada 2021 atau menyumbang 37,04% nikel dunia. Sekitar 90% sumber nikel Indonesia tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, serta Maluku Utara.

Telah lama Indonesia mendambakan sumber daya alam tersebut diolah di dalam negeri, seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini mengatur kewajiban peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Karena itulah pemerintah mendorong investasi smelter atau pemurnian hasil tambang. Bahkan pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 sebagai dukungan terhadap pengolahan di dalam negeri.

Smelter merupakan bagian dari fasilitas pengolahan hasil tambang. Fungsinya meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, alumunium, emas dan perak. Keluar dari smelter, telah memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Proses tersebut telah meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian.

Nikel, kobalt, alumunium dan mangan merupakan bahan baku dasar penting untuk memproduksi baterai kendaraan listrik. Tak heran jika sejumlah smelter telah berdiri di Maluku Utara. PT Indonesia Weda Bay Industri Park misalnya, membangun kawasan industri terintegrasi untuk proses mineral dan produksi komponen baterai kendaraan listrik. Selain itu, ada PT Halmahera Persada Legend yang membangun pemurnian nikel kadar rendah dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL).

Pada 2022, PT Aneka Tambang Tbk berencana menyelesaikan proyek pembangunan pabrik feronikel di Maluku Utara. Pada tahun yang sama, PT Alchemist Metal Industry menyiapkan proses produksi nickel pig iron di provinsi tersebut.

 

Ramai-ramai Tinggalkan Pertanian

Maraknya perkembangan industri pengolahan berpeluang terus mendukung kinerja ekonomi Maluku Utara ke depan. Lapangan kerja akan banyak tersedia untuk menyerap pengangguran di provinsi itu yang pada 2021 mencapai 4,7%.

Di tengah kian moleknya Maluku Utara, provinsi ini telah mengubah kegiatan ekonomi masyarakat. Industri pengolahan tampaknya lebih ranum bagi penduduk usia kerja ketimbang sektor pertanian.

Pada Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk usia kerja yang bekerja di industri pengolahan tumbuh 200,9% (yoy). Demikian pula di sektor pertambangan dan penggalian, bertambah 12,3% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebaliknya, yang bekerja di sektor pertanian justru menyusut. Jika pada Agustus 2020 ada 235.736 orang, setahun berikutnya tersisa 165.056 orang, turun 30% .

Tragisnya, tingkat kesejahteraan warga setempat secara umum justru menurun. Jumlah penduduk miskin di Maluku Utara terus bertambah, dari 84,6 ribu orang pada 2019, menjadi 86,4 ribu setahun berikutnya, kemudian menjadi 87,2 ribu pada 2021.

Persentase kemiskinan pun terus meningkat, dari 6,8% pada 2020 menjadi 6,9% di tahun berikutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa momentum pertumbuhan ekonomi dari sektor industri pengolahan yang meningkat tinggi belum memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat Maluku Utara.

Download Edisi White Paper

Berbanding Terbalik Populasi dan Ekonomi

Artikel sebelumnya

Perempuan Dalam Beragam Indeks

Artikel selanjutnya

Baca Juga