JAKARTA — Lebih dari dua abad lalu, ekonom Inggris Thomas Malthus mengingatkan ancaman ledakan populasi. Penduduk yang terus tumbuh secepat deret ukur akan melampaui jumlah pasokan pangan yang hanya merayap dalam deret hitung. Saat itulah, manusia akan didera oleh bencana, kelaparan, perang, dan wabah penyakit.
Kekhawatiran Malthus memang tak terbukti. Revolusi Hijau ternyata mampu menggandakan produksi pertanian, sekaligus mengamankan pasokan pangan. Yang kemudian terjadi justru sebaliknya. Dunia khawatir pada jumlah penduduk yang merosot.
Dalam beberapa dekade terakhir, populasi penduduk di banyak negara mulai surut. Tingkat kesuburan (fertility rate) di Jepang, Amerika Serikat, Eropa Barat, dan beberapa negara kaya lainnya anjlok hingga di bawah “tingkat-penggantian” alias replacement level.
Replacement level merujuk pada tingkat kesuburan yang dapat “menjaga” penduduk pada jumlah yang tetap atau pertumbuhan nol. Di negara maju, replacement level terjadi jika tiap perempuan rata-rata melahirkan 2,1 anak sepanjang hidupnya.
Tentu saja, negara dengan angka kematian bayi dan anak yang tinggi perlu replacement level yang tinggi pula. Pertumbuhan penduduk nol hanya bisa dicapai jika tingkat kematian tetap konstan dan migrasi tidak berpengaruh.
Kecenderungan penyusutan penduduk bukan hanya terjadi di negara kaya, tapi juga mulai merayap ke negara berpenghasilan menengah.
Thailand, Turki, India, Meksiko, dan Iran mulai mendekati ambang batas tersebut. Cina dan Brasil malah sudah melewatinya. Bahkan, tingkat kesuburan Korea Selatan sudah turun menjadi hanya 0,98 kelahiran per perempuan – dan menjadikannya sebagai negara dengan tingkat fertility rate paling rendah di dunia.
Data Prospek Populasi Dunia dari PBB mencatat, populasi penduduk pada 27 negara kini lebih sedikit ketimbang jumlahnya pada 2010. Selain itu, terdapat 55 negara — termasuk Cina, yang populasinya diperkirakan akan terus menurun hingga tahun 2050 mendatang.
Penurunan ini mungkin mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Kebutuhan atas ruang untuk permukiman akan menurun. Begitu pula produksi sampah dan keharusan untuk mengelola limbah.
Namun, keuntungan itu akan dibarengi dengan sejumlah konsekuensi ekonomi yang berat. Yang paling jelas: tingkat konsumsi akan turun. Bukan hanya konsumsi terhadap beras atau bahan pangan yang lain, tapi juga permintaan atas rumah, mobil, handphone, mesin cuci, bahkan juga jasa tukang cukur atau montir bengkel.
Ini akan membawa dampak berantai yang panjang. Tingkat permintaan yang lemah akan menurunkan investasi. Pengangguran bakal meningkat. Turunnya populasi yang mendorong pada penurunan produksi pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan, dan bahkan penurunan atau setidaknya pelambatan standar hidup.
Lazimnya, tingkat kesuburan yang rendah akan seiring dengan populasi yang menua. Dua faktor ini akan membuat beban pemerintah meningkat. Beban pensiun dan perawatan kesehatan bagi manula akan membengkak. Ini bisa mendorong kenaikan tarif pajak dan premi asuransi sosial.
Turun lebih dari separuh
Di Indonesia, tingkat kesuburan anjlok separuh lebih, dari 5,8 pada 1960 menjadi 2,24 anak per perempuan pada 2022. Penurunan tajam ini sebagian merupakan keberhasilan Program KB (keluarga berencana). Sebagian lagi didorong oleh perubahan sosial dan ekonomi, terutama peningkatan pendidikan dasar bagi anak perempuan pada era 1970-1980an.
Dalam rentang waktu enam dasawarsa itu, tingkat fertilitas pada kelompok usia termuda (di bawah 19 tahun) dan tertua (di atas 40 tahun), juga turun secara signifikan. Kedua kelompok itu merupakan golongan yang paling berisiko ketika melahirkan. Di saat yang sama, interval rata-rata antarkelahiran, juga makin lebar. Akibatnya, fertility rate turun sangat tajam.
Namun, jika dilihat lebih rinci, dalam tiga dasawarsa terakhir penurunan tingkat kesuburan tidak lagi setajam tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1990, tingkat kesuburan di Indonesia mencapai 2,3 anak per perempuan, dan hanya turun menjadi 2,24 pada 2022.
Dengan tingkat kesuburan setinggi itu, Indonesia dinilai berada pada pola fertilitas yang “menguntungkan”. Jumlah penduduk masih terus tumbuh, sehingga tingkat konsumsi dan permintaan masih akan meningkat.
Selain membahayakan tingkat konsumsi, penurunan fertilitas lebih jauh lagi dianggap tak banyak membawa manfaat. Dampaknya terhadap tingkat kematian ibu dan bayi sangat kecil.