JAKARTA – Angka tak pernah bohong, dan seringkali ia menjeritkan kenyataan yang menyakitkan. Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk “Statistik Pendapatan Agustus 2025” bukan sekadar tumpukan tabel kering. Ia adalah cermin retak dari struktur ekonomi kita, sebuah disparitas produktivitas yang begitu tajam, yang jika dibiarkan, akan menjadi bom waktu bagi transformasi struktural Indonesia.
Mari kita bedah faktanya
Bagi mereka yang bekerja sebagai Pekerja Bebas (casual workers), sektor Industri Pengolahan adalah “raja” dengan rata-rata pendapatan Rp2,05 juta per bulan. Sektor Jasa mengekor di angka Rp1,87 juta. Sementara itu, sektor Pertanian terpuruk di dasar klasemen, hanya memberikan Rp1,37 juta.
Namun, cerita berubah drastis saat kita menengok kelompok Berusaha Sendiri (self-employed). Di sini terjadi anomali. Sektor Jasa justru memimpin dengan pendapatan Rp2,28 juta, mengangkangi Industri (Rp1,89 juta) dan Pertanian yang lagi-lagi menjadi juru kunci (Rp1,71 juta).
Jebakan Kemiskinan Petani
Kesenjangan ini mengirimkan sinyal pasar, bertani adalah jalan menuju kemiskinan. Dengan pendapatan pekerja bebas di pertanian yang hanya Rp1,37 juta—jauh di bawah rata-rata industri—kita sedang menciptakan faktor pendorong yang masif.
Ini bukan sekadar urbanisasi; ini adalah “de-agrikulturisasi tanpa modernisasi”. Petani muda tidak meninggalkan desa karena silau lampu kota, tapi karena hitungan rasionil ekonomi. Bertahan di ladang sama saja dengan melakukan “bunuh diri finansial”.
Jika buruh pabrik bisa mengantongi Rp2,05 juta, mengapa harus berkubang lumpur demi Rp1,37 juta? Secara makro, perpindahan tenaga kerja dari sektor produktivitas rendah (pertanian) ke tinggi (industri) adalah resep klasik pertumbuhan. Masalahnya, migrasi ini terjadi terlalu cepat tanpa diimbangi mekanisasi pertanian yang memadai. Ladang ditinggalkan, sementara produktivitas pangan jalan di tempat. Kita sedang mempertaruhkan ketahanan pangan di meja judi demografi.
Paradoks Sektor Jasa, Pelarian atau Peluang?
Di sisi lain, data self-employed menampar narasi hilirisasi kita. Mengapa pengusaha mandiri di sektor jasa (Rp2,28 juta) lebih makmur ketimbang pengusaha mandiri di sektor industri (Rp1,89 juta)?
Jawabannya terletak pada cash flow velocity dan barrier to entry. Membuka warung kopi, jasa kurir, atau reseller online menawarkan perputaran uang yang jauh lebih cepat dibandingkan memproduksi barang kerajinan atau olahan pangan skala mikro. Manufaktur mikro di Indonesia tercekik inefisiensi biaya bahan baku dan akses pasar yang rumit.
Ini adalah ironi. Kita memuja hilirisasi nikel dan tembaga di level korporasi raksasa, namun gagal melakukan hilirisasi di level rakyat. Pengusaha mikro kita lebih memilih menjadi pedagang (jasa) daripada produsen (industri) karena insentif ekonominya lebih masuk akal. Akibatnya, sektor jasa kita membengkak, bukan karena ia bernilai tambah tinggi, tapi karena ia menjadi bunker pelarian bagi mereka yang gagal masuk sektor formal.
Disparitas Produktivitas, Salah Kaprah Hilirisasi
Perbandingan head-to-head ini menyingkap luka lain. Buruh pabrik (casual) dibayar lebih mahal dari buruh tani karena mesin dan modal besar di belakang mereka mendongkrak produktivitas. Namun, pengusaha manufaktur mikro (sendiri) justru kalah dari pedagang jasa.
Ini menunjukkan bahwa industri skala mikro kita tidak memiliki leverage teknologi. Mereka bekerja manual, tidak efisien, dan akhirnya kalah bersaing. Narasi bahwa “UMKM adalah tulang punggung ekonomi” perlu dikoreksi: UMKM kita mayoritas masih berdagang, bukan memproduksi nilai tambah.
Mencegah Ledakan Krisis Sosial
Pemerintah tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon “pertumbuhan ekonomi yang stabil“. Data Agustus 2025 ini adalah peringatan dini. Jika disparitas pendapatan antara pertanian dan sektor lain terus melebar, kita akan menghadapi krisis regenerasi petani yang permanen dalam satu dekade ke depan.
Transformasi struktural tidak boleh dibiarkan berjalan liar mengikuti mekanisme pasar semata. Intervensi kebijakan diperlukan bukan dengan subsidi pupuk yang sering salah sasaran, melainkan dengan industrialisasi pedesaan yang nyata. Buatlah sektor pertanian dan industri mikro menjadi seksi secara finansial, bukan sekadar romantisasi “kembali ke desa“.
Tanpa itu, kita hanya sedang menunggu waktu sebelum ketimpangan ini meledak menjadi krisis sosial, di mana desa menjadi panti jompo raksasa dan kota menjadi lautan pekerja informal yang rentan. Waktu terus berjalan, dan tik-tok bom waktu itu makin kencang terdengar.





