JAKARTA – Dalam seperempat abad, lahan di Indonesia yang habis terbakar mencapai 19,6 juta hektare. Setara 1,5 kali Pulau Jawa. Angka itu adalah akumulasi dari tahun 2000 hingga 2024—sebuah catatan hitam yang merentang dari era Megawati hingga akhir kepemimpinan Jokowi.
Jangan salah, ini bukan sekadar bencana alam yang jatuh dari langit. Ini adalah “pembersihan lahan gratis” yang disubsidi oleh paru-paru rakyat. Setiap lahan yang terbakar adalah pilihan ekonomis bagi aktor-aktor yang ingin membuka kawasan dengan cepat tanpa biaya berat. Api adalah alat produksi termurah. Polusi yang melayang di udara? Itu adalah eksternalitas negatif yang dengan santai dialihkan ke publik.
Data terbaru MapBiomas Fire Koleksi 2 (dirilis 16 Desember 2025) tidak hanya memberikan angka, tetapi juga memperlihatkan pola sistemik yang tersembunyi di balik narasi “pembangunan berkelanjutan” yang kita dengar setiap kali presiden berpidato.
Lahan yang Berulang Terbakar, Indikator Desain Sistemik
Total wilayah yang pernah terbakar (tanpa penghitungan ganda) adalah 9,5 juta hektare. Dari angka itu, 4 juta hektare adalah area yang berulang kali terbakar.
Angka “berulang” ini sangat penting. Area yang dibakar berkali-kali bukanlah kecelakaan atau hasil dari sekadar musim kering biasa. Ini adalah bukti nyata “land clearing sistematis” untuk persiapan komoditas. Ketika sebuah lahan dibakar lebih dari sekali dalam 25 tahun, biasanya ada desain di baliknya: pembersihan vegetasi asli, persiapan tutupan lahan baru, atau pemeliharaan ekspansi yang sudah dimulai.
Logika ekonomi para pengusaha sederhana: mengapa mengeluarkan uang untuk alat berat ketika api bekerja gratis? Pemerintah lokal yang terdesak dana? Mereka membiarkan. Pemerintah pusat? Mengeluarkan instruksi pencegahan setiap musim kering, tanpa inforcement yang serius. Hasilnya: lahan yang sama berulang kali menjadi obyek pembakaran.
Wilayah Bara Api itu di Kalimantan dan Sumatera
Kalimantan mencatat 3,7 juta hektare terbakar (39,1 persen dari total). Sumatera 2,9 juta hektare (30,5 persen). Bersama-sama, dua pulau ini menyumbang hampir 70 persen dari semua kebakaran di Indonesia.
Ini bukan kebetulan geografis. Ini adalah “epicenter ekonomi ekstraktif Indonesia”: sawit, pulp, dan eksplorasi mineral.
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau adalah pusat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Ketika harga sawit naik, tekanan ekspansi lahan meningkat. Ketika ada otonomi daerah (sejak 1999), “raja-raja kecil” di daerah mendapat kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan dan perkebunan tanpa kontrol ketat dari pusat. Pola ini terus berulang. Hanya presiden yang berganti, strategi land clearing-nya tetap sama.
Lokasi geografis ini juga memiliki karakter ekologis tertentu: banyak gambut, mudah terbakar, dan ketika terbakar mengeluarkan emisi karbon yang masif. Tapi pembahasan tentang dampak iklim selalu dikesampingkan dalam kalkulasi ekonomi rente ini.
Rezim Siapa yang Bertanggung Jawab?
Data tahunan memberikan gambaran jelas tentang intensitas kebakaran di bawah setiap rezim.
Era Megawati (2000-2004):
Tahun 2002 mencatat 1 juta hektare terbakar. Ini adalah masa transisi, ketika otonomi daerah baru saja dijalankan. “Raja-raja kecil” mulai melakukan obral izin lahan dengan antusias. Desentralisasi yang diklaim akan lebih demokratis malah menjadi ajang penjarahan terstruktur atas hutan dan lahan. Kekuatan pusat melemah, kekuatan oligarki lokal yang terikat pada kepentingan ekstraktif meningkat. Tidak heran kebakaran melonjak.
Era SBY (2004-2014):
Di sini kita melihat pola yang menarik. SBY memerintah ketika komoditas global sedang booming—terutama sawit. Tahun 2006 mencatat 1,2 juta hektare, tahun 2009 mencatat 929.711 hektare, tahun 2012 mencatat 929.256 hektare. Angka-angka ini tidak konsisten rendah, tetapi juga tidak setinggi 2015 atau 2019.
Penjelasannya sederhana: ekspansi perkebunan sawit memang sedang berlangsung masif di era SBY (harga sawit tinggi, permintaan global naik), tetapi belum mencapai fase “desperate expansion” yang kemudian terjadi di era berikutnya. Penegakan hukum? Jauh dari sempurna, tapi masih ada sisa-sisa formalitas perizinan yang harus diikuti.
Era Jokowi (2014-2024):
Inilah masa yang paling mencengangkan dalam data. Tahun 2014 (awal Jokowi), kebakaran mencapai 1,8 juta hektare. Tahun 2015—puncaknya—2,2 juta hektare. Tahun 2019 mencatat 1,7 juta hektare.
Jokowi berjanji akan menyelamatkan hutan. “Moratorium” hutan tropis diumumkan. Tapi data MapBiomas memperlihatkan sesuatu yang berbeda: kebakaran terbesar dalam 25 tahun justru terjadi di awal dan pertengahan era Jokowi.
Apa yang terjadi?
Jawabannya terletak pada target infrastruktur dan hilirisasi yang agresif. Jokowi ingin mempercepat pembangunan, dan dalam logika ekonomi rente, cara tercepat adalah membiarkan pemain korporat mengekspansi dengan cara mereka sendiri. Food estate di Kalimantan Tengah, pengembangan infrastruktur di Papua, ekspansi sawit di Sumatera—semua agenda itu membutuhkan lahan yang cepat kosong dari vegetasi asli. Api adalah solusinya.
Asap 2015 yang menyelimuti Sumatera dan Kalimantan bukan kebetulan tahun El Niño. Itu adalah hasil dari pilihan ekonomi: ekspansi yang dibiarkan, penegakan hukum yang lemah, dan kalkulasi bahwa dampak sosial dari polusi bisa ditanggung publik sementara keuntungan ekonomi bisa diraup pemilik modal.
Di 2016, angka turun menjadi 771.541 hektare—mungkin karena efek dari kecaman internasional pasca-2015. Tapi pada 2018-2019, angka naik lagi. Tren akhir periode Jokowi (2020-2023) menunjukkan penurunan, tapi itu mungkin lebih disebabkan penurunan lahan yang tersedia untuk dibuka (sudah banyak dibuka) daripada efektivitas penegakan hukum.
Jenis Lahan Terbakar, Bokor Rahasia Emisi Karbon
Data dokumentasi lahan yang terbakar memperlihatkan 63 persen terjadi pada “vegetasi alami non-hutan”—semak belukar, savana, padang rumput, dan yang paling bahaya: gambut dan rawa tidak bervegetasi.
Angka “hanya 1,2 persen kebakaran di hutan” yang sering dikutip oleh pejabat untuk menyatakan “kebakaran hutan bukan masalah besar” adalah kelicikan data. Tentu saja 1,2 persen—karena sebagian besar hutan sudah dihilangkan tahun-tahun sebelumnya. Yang tertinggal di musim kering adalah lahan-lahan bekas tebangan, perkebunan, dan lahan gambut yang sudah didrainase.
Gambut adalah bokor rahasia emisi karbon. Ketika lahan gambut terbakar, ia melepaskan karbon yang telah terakumulasi selama ribuan tahun. Emisi dari satu kebakaran gambut bisa setara dengan emisi tahunan dari jutaan mobil. Tapi dalam perhitungan ekonomi rente, ini tidak masuk ke dalam kalkulasi. Biaya iklim global? Bayarlah kemudian. Sekarang ambil keuntungan.
Musim Api, September hingga November
Data menunjukkan 61 persen kebakaran terjadi September hingga November, dengan puncak Oktober. Ini adalah pola yang dapat diprediksi. Dan pola yang dapat diprediksi adalah pola yang dapat dicegah—jika ada kemauan pemerintah.
Namun setiap Oktober, asap membludak lagi. Ini bukan karena pemerintah tidak tahu kapan akan terjadi kebakaran; ini karena pemerintah memilih untuk tidak menekan aktor-aktor yang menggunakan api sebagai alat produksi mereka.
Penyebabnya: ketergantungan finansial terhadap pajak dan royalti yang dihasilkan dari perkebunan besar dan perusahaan ekstraktif. Raja-raja Kecil di daerah yang mengandalkan penerimaan dari izin pertambangan dan perkebunan. Presiden di pusat yang ingin menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi. Semuanya ini tertanam dalam struktur ekonomi rente yang sama.
Warisan Asap untuk Pemerintahan Baru
Pemerintahan Prabowo yang baru diambil sumpah pada Oktober 2024 mewarisi lanskap yang kompleks. Lahan yang sudah terbakar tidak boleh dibiarkan terbuka—risiko kebakaran berulang tinggi. Tetapi juga: negara memiliki opsi untuk mereklamasi lahan itu menjadi hutan kembali, atau membiarkan ekspansi komoditas melanjutkan.
Prabowo berbicara tentang “food estate” dan “pangan mandiri”. Jika itu diterjemahkan menjadi ekspansi pertanian besar di lahan bekas terbakar, maka pola kebakaran akan terus berlanjut. Jika ada keinginan untuk mereklamasi hutan, ini akan membutuhkan investasi besar dan penegakan hukum yang ketat terhadap oligarki sawit dan pulp.
Data 2023 menunjukkan penurunan kebakaran menjadi 950.030 hektare—di bawah rata-rata 25 tahun. Ini bisa menjadi indikasi bahwa lahan yang mudah dibuka sudah habis dibuka. Atau bisa juga sekadar fluktuasi alami. Tahun-tahun depan akan menunjukkan apakah tren ini berlanjut atau terjadi lonjakan baru ketika ada presure ekspansi lagi.
Kegagalan Negara yang Terukur
Audit bara api ini adalah audit terhadap kegagalan negara dalam melindungi aset ekologis rakyat. Dalam 25 tahun, tidak ada satupun rezim yang memilih untuk mengerem ekspansi ekstraktif demi perlindungan lingkungan. Semuanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara yang sama, membiarkan oligarki rente (sawit, pulp, mineral) mengekspansi dengan metode termurah, paling merusak, dan paling cepat, api.
19,6 juta hektare adalah 19,6 juta hektare. Tidak bisa diabaikan, tidak bisa dijustifikasi, dan tidak bisa diperbaiki hanya dengan slogan.
Masa depan kebakaran di Indonesia tidak ditentukan oleh iklim atau musim kering. Ia ditentukan oleh pilihan politik dan ekonomi. Apakah negara akan terus menjadi fasilitator bagi ekonomi rente, atau akankah menjadi pengayom bagi ekosistem dan rakyat yang bernafas polusi hasil pilihan ekonomis itu?
Data historis 25 tahun ini adalah alat diagnosa. Penyakitnya kronis: ekonomi rente berbasis lahan. Obatnya bukan sekadar air dari helikopter water bombing, tapi keberanian memotong tangan-tangan oligarki yang memegang korek api.





