JAKARTA – Sejak awal tahun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menutup sembilan Bank BPR. Kinerja permodalannya dianggap tidak sehat, sehingga harus tutup buku.
Penutupan BPR, yang sekarang telah bersalin nama menjadi Bank Perekonomian Rakyat dari sebelumnya Bank Perkreditan Rakyat, merupakan cerita lanjutan dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun lalu, OJK telah mencabut empat izin lembaga keuangan tersebut.
OJK terus berupaya menyusutkan jumlah BPR, yang hingga akhir 2023 jumlahnya masih 1.402 unit. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara sempat mengungkapkan, jumlah BPR bisa turun hingga menjadi 1.000. Dengan harapan, yang kondisinya kurang baik dapat dibenahi. “Karena itu, BPR yang dalam satu grup bisa merger,” paparnya.
Dalam dua dekade terakhir, jumlah BPR sebenarnya sudah berkurang banyak, dari 2.009 pada 2005 unit menjadi 1.402 di 2023. Ada 607 unit yang gugur atau sekitar 32 BPR per tahun. Namun untuk jumlah kantornya, baik pusat maupun cabang, justru bertambah 2.937 kantor sepanjang periode tersebut atau 155 per tahun.
Hingga akhir tahun lalu, jumlah kantor BPR terkonsentrasi di tiga wilayah: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Di tiga provinsi ini, jumlahnya mencapai 4.108 kantor atau 67,9 persen dari seluruh kantor BPR di Tanah Air.
Namun dari sisi kinerja, kondisinya terus melandai, tak sebanding dengan kenaikan jumlah kantor. Pertumbuhan aset BPR yang biasanya selalu berada di atas 10 persen per tahun, berakhir pada 2019. Setelah itu, konsisten di bawah dua digit, yang ditutup dengan kenaikan 7,0 persen pada tahun lalu.
Bahkan tingkat pengembalian aset atau return non aset (ROA) BPR pada 2023 hanya 1,00 persen, dari 2,31 persen pada lima tahun sebelumnya. Kemampuan asetnya dalam menghasilkan laba secara konsisten terus turun setiap tahun, berbeda dengan kondisi yang terjadi pada bank umum.
Sementara kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang menggelayut dalam pembukuan BPR justru membesar. Pada tahun lalu, jumlahnya mencapai 9,87 persen terhadap total kredit yang disalurkan, dari 6,81 persen di 2019.
Indikator Kinerja BPR Vs Bank Umum
Jika dilihat sebaran aliran kredit bermasalah BPR, pada 2023 yang tertinggi terjadi Papua Barat, dengan NPL 60,1 persen atau senilai Rp324 miliar dari total kredit yang disalurkan sebanyak Rp 539 miliar. Provinsi tersebut menggeser Aceh yang pada tahun sebelumnya menjadi juara dengan kredit bermasalah tertinggi, yakni 20,0 persen, setara dengan Rp10 miliar.
Secara keseluruhan, ada sembilan provinsi dengan kredit bermasalah BPR di atas rata-rata nasional yang 9,9 persen. Selain Papua Barat, ada Provinsi Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Sedangkan pada 2022, ada 11 daerah dengan jumlah kredit bermasalah di atas rata-rata nasional yang sebesar 7,9 persen. Dipimpin oleh Aceh, selanjutnya ada Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jambi, Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Bangka Belitung, Jawa Timur, serta Kalimantan Timur.
Dengan demikian, untuk 2023, DI Yogyakarta dan Kalimantan Barat merupakan pendatang baru sebagai provinsi dengan kredit bermasalah BPR di atas rata-rata nasional. Sisanya adalah daerah yang sudah ada di tahun sebelumnya.
Dilihat dari penyalurannya, sebagian besar kredit BPR pada 2023 mengalir untuk modal kerja, yang totalnya mencapai Rp68,5 triliun atau 48,6 persen dari total kredit. Sektor dengan kucuran kredit paling besar adalah perdagangan besar dan eceran yang senilai Rp25,9 triliun atau 18,4 persen dari total kredit.
Berikutnya, dikucurkan untuk keperluan konsumsi, yang secara keseluruhan sekitar Rp60,4 triliun. Porsi kredit konsumsi terhadap total kredit mencapai 42,9 persen. Dari seluruh aliran kredit untuk pemanfaatan konsumsi, yang terbesar adalah jenis konsumsi lainnya yang mencapai 40,4 persen atau senilai Rp56,9 triliun. Jenis kredit ini di luar kredit pemilikan rumah maupun kredit pemilikan kendaraan bermotor.
Sementara untuk kebutuhan investasi nilai kredit yang mengalir hanya Rp11,9 triliun. Porsinya terhadap total kredit sekitar 8,5 persen.
Kini, tampaknya nasib BPR makin kelam. Setiap tahun nyaris ada kabar yang ditutup. Bahkan dengan target OJK yang akan menyisakan seribu unit, berarti ada sekitar 400 yang menanti ajal.