Beban Berat Utang

JAKARTA – Dua pekan lalu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merilis laporan terbaru bertajuk A World of Debt. Dalam laporan itu disebutkan, akibat utang, setidaknya 3,3 miliar orang menderita. Negara tempat mereka tinggal lebih memprioritaskan pembayaran bunga utang ketimbang investasi untuk pendidikan dan kesehatan, sesuai yang termaktub dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) maupun transisi energi.

Laporan PBB menyebutkan bahwa pada tahun lalu, utang publik global mencapai rekor tertinggi, yakni US$92 triliun. Naik lima kali lipat sejak 2000. Sementara pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya naik tiga kali lipat. Mirisnya lagi, sebanyak 30% dari jumlah utang publik itu merupakan utang negara-negara berkembang.

Utang Indonesia pun tak bisa dibilang kecil. Hingga 2022, totalnya mencapai Rp7.734 triliun dan diperkirakan menjadi Rp8.332 triliun pada 2023. Untuk tahun ini, total pembayaran bunga utang yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 mencapai Rp441 triliun atau 14,4% dati total belanja pemerintah.

Dalam 10 tahun terakhir, porsi pembayaran bunga utang Indonesia mulai tercatat dua digit, yakni sekitar 10,8% dari total belanja pemerintah, mulai 2017. Sebelumnya selalu di bawah itu.

Laju beban pembayaran bunga utang yang makin cepat berpeluang besar menggerus alokasi belanja lainnya. Sepuluh tahun silam, yakni tahun 2014, porsi pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah sekitar 7,5%. Sedangkan porsi belanja kesehatan dan bantuan sosial masing-masing 3,4% dan 5,4%. Dengan demikian, selisihnya 4,2% dan 2,0%. Kini, pada 2023, jatah belanja pemerintah untuk membayar bunga utang mencapai 14,4%. Sementara belanja kesehatan 5,8% dan bantuan sosial 4,9%. Selisihnya pun makin menganga, yaitu 8,6% dan 9,6%.

Rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia cenderung turun. Dalam 20 tahun terakhir, yang tertinggi hanya 12,2%, yaitu pada 2008. Setelah itu selalu di bawah 12%. Bahkan pada 2021 hanya 9,1% atau 9,9% di 2022. Pencapaian ini jauh di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik, yang dicatat Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang pada 2020 mencapai 19,1%.

Indikator tax buoyancy (elastisitas pajak) juga masih jauh dari memuaskan. Dalam 20 tahun terakhir (2004-2023) misalnya, hampir sekitar separuh periode posisinya ada di bawah 1. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa penerimaan pajak tidak optimal. Terengah-engah mengikuti kinerja perekonomian secara umum. Bahkan pada 2023, sesuai target yang ditetapkan pemerintah, nilainya hanya 0,5. Setengah cangkir dari nilai ideal.

Download Report – Beban Berat Utang

Surabaya Tetap Jadi Magnet Utama di Jawa Timur

Artikel sebelumnya

Defisit Komoditas Strategis

Artikel selanjutnya

Baca Juga