JAKARTA – Hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021 mencatat, jumlah perokok di Indonesia sekitar 59 juta orang. Dengan jumlah penduduk 272 juta orang pada saat itu, berarti satu dari setiap 22 orang Indonesia mengonsumsi rokok.
Para perokok itu menghabiskan Rp6,7 triliun setiap bulan untuk belanja 20,5 miliar batang rokok keretek filter. Perlu dicatat, ini baru rokok keretek filter. Belum termasuk jenis lain seperti rokok putih, cerutu, atau jenis lainnya.
Mengingat besarnya konsumsi rokok ini, produsennya pun selalu masuk daftar orang terkaya di Indonesia. Misalnya Robert Budi Hartono dan Michael Hartono yang punya rokok merek Djarum, kekayaannya mencapai US$42,6 miliar pada 2021. Dia tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes.
Sementara Susilo Wonowidjojo, pemilik rokok merek Gudang Garam, ada di peringkat ke-7 orang terkaya di Indonesia. Nilai kekayaannya mencapai US$4,8 miliar.
Para konglomerat rokok itu mendapat berkah dari tingginya konsumsi hasil olahan tembakau masyarakat Indonesia. Maklum, rokok termasuk barang yang inelastis seperti beras: kenaikan harga tak mampu menekan tingginya konsumsi rokok.
Tak heran jika kontribusinya terhadap garis kemiskinan sangat besar, seperti diumumkan oleh BPS minggu lalu. Untuk Maret 2022, garis kemiskinan sebesar Rp505.469/kapita/bulan. Kontribusi rokok mencapai 12,2% bagi masyarakat perkotaan dan 11,6% untuk perdesaan.
Sekadar informasi, garis kemiskinan merupakan gambaran dari jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan standar atau minimal. Jika ada penduduk dengan pengeluaran di bawah itu, berarti masuk kategori miskin.
Kenaikan harga rokok, dengan alasan apa pun, akan memengaruhi pergerakan tingkat kemiskinan masyarakat seperti halnya beras.