JAKARTA – Pada hari ini, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden ke-8 RI. Semoga senyumnya tak sirna setelah melihat pembukuan pemerintah, kondisi keuangan negara yang harus dihadapi pada tahun-tahun mendatang.
Pada 2025 misalnya, setiap hari anggaran negara rata-rata minus Rp2 triliun, karena defisitnya ditargetkan Rp616 triliun. Data yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini bisa dilihat pada bagian neraca anggaran, yakni selisih antara total pendapatan terhadap belanja negara, termasuk bayar bunga utang yang secara keseluruhan jumlahnya Rp3.621 triliun. Khusus bunga utang saja, nilainya Rp553 triliun.
Bahkan jika kewajiban membayar bunga utang dikeluarkan dari daftar belanja, istilahnya keseimbangan primer atau total pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa bayar bunga utang, masih kurang Rp63 triliun sepanjang 2025. Ibaratnya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, anggaran pemerintah tak kuasa.
Tentu perhitungan defisit ini belum memperkirakan jumlah pejabat yang akan mengisi posisi menteri dan wakil menteri atau setingkat itu. Kalau jumlahnya bertambah, tentu berdampak pada kenaikan anggaran pemerintah untuk membiayai gaji, tunjangan, fasilitas, maupun program lembaga yang dipimpin.
Kondisi anggaran pemerintah yang cekak ini mau tidak mau mesti ditutupi dengan utang. Pinjaman tersebut bisa berasal dari lembaga internasional, negara lain, atau penerbitan surat berharga negara dalam mata uang rupiah maupun non rupiah.
Pilihan selain menambah tumpukan utang, antara lain mengurangi belanja. Ketika jumlah pejabat yang hidupnya ditanggung negara membengkak, pilihan mudah namun berisiko yang mudah diambil, yakni pengurangan subsidi.
Tanda-tandanya sudah ada. Rapat Kementerian Keuangan dengan Badan Anggaran DPR RI sepakat menurunkan anggaran subsidi energi Rp1,1 triliun dalam APBN 2025. Dalam subsidi energi ini ada untuk bahan bakar minyak seperti jenis Pertalite serta listrik rumah tangga berkapasitas 900 Volt Ampere (VA). Ada juga dunia usaha yang dapat subsidi, yakni pengguna listrik berkapasitas 5.500 VA.
Jadi, siap-siap saja harga dan tarif komoditas penting bagi masyarakat itu bakal naik, termasuk tiket kereta rel listrik, seandainya jatah subsidi mulai dipangkas. Bahkan mungkin ada barang bersubsidi yang menghilang untuk memaksa masyarakat membeli produk lain yang dijual sesuai harga pasar.
Penerimaan pajak belum optimal
Mengapa defisit, seperti diperlihatkan pada keseimbangan primer itu, bisa terjadi? Setidaknya ada dua kemungkinan: kebutuhan belanja yang terlalu cepat naik atau kemampuan penerimaan negara yang kurang optimal.
Komponen terbesar dari penerimaan negara, yakni perpajakan yang pada 2025 diperikirakan sekitar 82,9% dari total pendapatan. Untuk melihat kinerja penerimaan perpajakan ini, indikator yang lazim digunakan adalah tax bouyancy, yakni respons atau elastisitas perpajakan terhadap kinerja ekonomi nasional. Idealnya, kenaikan penerimaan perpajakan bergerak selaras atau minimal sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur melalui Produk Domestik Bruto atau PDB.
Nyatanya, dalam 10 tahun terakhir, ternyata rasio atau perbandingannya rata-rata hanya 0,9 per tahun. Kondisi ini mengisyaratkan penerimaan pajak belum optimal. Dibandingkan 10 tahun sebelumnya (2004-2013), respons pajak terhadap kinerja perekonomian nasional terbilang ideal, karena rata-rata rasionya 1,0. Kira-kira, kalau ekonomi nasional tumbuh 5%, berarti penerimaan pajak naik dengan angka yang sama.
Tingkat elastisitas atau respons perpajakan yang cenderung rendah berdampak secara langsung terhadap rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax rasio. Ini terbukti dari data yang ada, yakni hanya 9,9% per tahun pada periode 2014-2023. Tapi pada 10 tahun sebelumnya justru bisa mencapai 11,2%.
Urusan pajak ini ternyata telah membuat Prabowo gusar. Hal itu disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, adiknya yang kerap menjadi juru bicara keluarga.
Pada minggu kedua Oktober lalu saat bertemu dengan sejumlah pengusaha, dia mengungkapkan ada potensi penerimaan pajak sekitar Rp300 triliun yang raib. Pendapatan yang seharusnya masuk ke kas negara itu berasal dari para pengusaha nakal. Inilah, kata Hashim, alasan pemerintahan Prabowo akan mengejar para pengemplang pajak tersebut.
Semoga pilihan pemerintahan Prabowo memang memburu para pengemplang pajak kelas kakap, ketimbang ambil jalan pintas: menambah beban masyarakat lewat pemangkasan subsidi.