Ambisi Tiga Juta Rumah Subsidi

JAKARTA – Kesenjangan antara pasokan dan permintaan rumah (biasa disebut backlog) memang kian menyusut.

Lima tahun lalu, dari setiap 10 rumah tangga Indonesia, dua di antaranya tak memiliki rumah pribadi. Mereka harus tinggal di rumah milik orang lain, entah dengan cara sewa, indekost, atau nebeng.

Tahun ini, rasio tersebut menyusut mejadi 1,5 berbanding 10. Artinya, kini semakin banyak rumah tangga yang tinggal di rumah sendiri.

Meski porsinya terus menurun, jumlah rumah tangga yang terpaksa menyewa atau mengontrak tempat tinggal, tetap saja luar biasa. Hingga 2023, terdapat 11,1 juta rumah tangga Indonesia yang tak memiliki rumah pribadi.

Backlog ini terjadi karena harga rumah makin tak terjangkau. Indeks harga properti Bank Indonesia menunjukkan, harga rumah tipe kecil (luas bangunan sampai 36 m2) melonjak paling cepat, setidaknya dalam enam tahun terakhir.

Lonjakan harga ini tak diimbangi dengan kenaikan penghasilan masyarakat. Akibatnya, sebagian konsumen memilih untuk mengontrak rumah petak di dekat kantor ketimbang membeli rumah yang jauh dari tempat kerja.

Untuk mengatasi kebutuhan rumah tinggal yang terjangkau, Presiden Prabowo Subianto menargetkan membangun 15 juta rumah subsidi selama lima tahun kepemimpinannya.

Rinciannya, setiap tahun akan dibangun satu juta apartemen di perkotaan dan dua juta rumah subsidi di perdesaan.

Ini bukan target sembarangan. Sebagai gambaran, selama lima tahun pertama pemerintahan Joko Widodo, pemerintah menghabiskan Rp119 triliun, untuk membangun 2,17 juta unit rumah subsidi.

Berdasarkan angka itu, anggota parlemen menaksir, Presiden Prabowo perlu menyiapkan anggaran sekitar Rp750 triliun setiap tahun, untuk mewujudkan ambisinya,

Jumlah ini hampir seperempat dari anggaran negara 2025. Jika ditambahkan anggaran pendidikan (porsinya telah dipatok 20% dari APBN), plus belanja pegawai (15%), bayar utang (20%), dan subsidi listrik, BBM, dan kesehatan, maka dana yang tersedia untuk ambisi lain, makan siang gratis misalnya, hampir tak bersisa. Belum lagi buat IKN dan pembangunan infrastruktur.

Selain bujet, tantangan lain adalah pemilihan lokasi. Ini soal klise. Sudah jadi cerita lama rumah subsidi kerap dibangun di daerah yang jauh dari pusat ekonomi – mungkin untuk mengejar bujet yang terbatas.

Akibatnya, rumah subsidi kurang peminat. Ada juga konsumen yang membeli, tapi tak ditempati. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017 mencatat, lebih dari 5.000 rumah subsidi tidak ditempati.

Program tiga juta rumah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat. Pembangunannya musti merujuk pada wilayah yang permintaan rumah paling besar.

Berdasarkan data Susenas 2023, Jawa Barat menjadi provinsi dengan backlog tertinggi, disusul DKI Jakarta dan Sumatera Utara.

Kondisi Kelas Menengah Memburuk?

Artikel sebelumnya

Aroma Vetsin di Seputar Kita

Artikel selanjutnya

Baca Juga