JAKARTA — Hidup makin berat. Gaji cuma numpang lewat. Belum tengah bulan, rekening sudah habis terkikis.
Keluhan-keluhan di atas bukan barang baru. Sangat jamak kita dengar. Baik dari buruh, karyawan perusahaan, maupun pegawai negeri. Pendeknya, sebagian besar dari mereka yang hidup dari uang gajian, merasakan beban biaya hidup yang semakin menindih. Harga barang-barang melaju dengan cepat, sedangkan penghasilan rasanya hanya beringsut.
Namun benarkah pertumbuhan gaji kita lebih lambat dari kenaikan harga barang? Bukankah perhitungan upah buruh selalu memperhitungkan inflasi? Begitu juga kenaikan gaji orang kantoran yang senantiasa menyesuaikan biaya hidup alias cost of living adjustment (cola)?
Datanesia mencoba menjawab pertanyaan ini dengan membandingkan pertumbuhan harga barang dengan tingkat kenaikan upah buruh dan gaji pegawai, selama 15 tahun terakhir.
Pertumbuhan harga dihitung dari kenaikan indeks harga konsumen (IHK), sedangkan upah buruh dari pergerakan UMR (upah minimum regional) rata-rata Indonesia.
Sementara itu, rata-rata gaji pegawai negeri (PNS) dihitung dari realisasi belanja pegawai dibagi dengan jumlah total pegawai pemerintah, di tahun yang sama. Ketiga indikator ini kemudian dijadikan semacam indeks, dengan tahun dasar 2004.
Hasil pengolahan ketiga indikator itu menunjukkan, gaji pegawai dan upah buruh relatif tumbuh seimbang. Keduanya melaju jauh lebih cepat dari pertumbuhan harga barang (indeks harga konsumen).
Jika dihitung dalam periode, dari 2004 hingga 2014 (selama masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono), inflasi tumbuh 107%, sedangkan gaji PNS dan UMR masing-masing tumbuh 258% dan 246%. Dengan kata lain, gaji PNS dan upah buruh tumbuh lebih dari dua kali kenaikan inflasi.
Sementara itu, dari 2014 sampai 2021 (masa Presiden Jokowi), inflasi merambat naik 44%, sedangkan gaji pegawai dan upah buruh masing-masing tumbuh 277% dan 240%. Artinya, pendapatan PNS dan buruh meningkat lima sampai enam kali lipat dari kenaikan harga barang.
Jika upah buruh dan gaji PNS melonjak begitu pesat, mengapa hidup masih terasa berat? Salah satu soalnya: tingkat kebutuhan makin meningkat. Pertumbuhan gaji memang jauh melampaui kenaikan harga, tapi ragam dan volume kebutuhan terus bertambah.
Sepuluh tahun lalu, anak buruh atau PNS masih siswa SD dengan SPP gratis, kini sudah masuk perguruan tinggi. Uang kuliahnya mahal, belum lagi uang buku, uang pulsa, dan barangkali juga biaya indekos.
Tampaknya, buruh dan PNS tak bisa hanya mengandalkan kenaikan gaji reguler berdasarkan masa kerja, tapi juga harus mengejar lompatan gaji dengan meningkatkan jenjang karier dan kapasitas (keterampilan).
Kalau sudah bekerja bertahun-tahun, tapi terus-terusan menjadi buruh pemula atau pekerja kontrak, ya memang kapiran.