APBD Habis untuk Gaji, Receh untuk Infrastruktur

JAKARATA – Jika 38 provinsi di Indonesia adalah emiten yang terdaftar di BEI, mayoritas gubernur sudah mendapat voting of no confidence dari investor institusional tahun ini. Sebab tidak ada CEO yang bertahan jika overhead cost mencapai 66,26 persen dari total operasi, sementara capital expenditure hanya 13,66 persen. Itu bukan strategi bisnis—itu adalah bunuh diri korporat yang diperlambat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2024-2025 melukiskan malapetaka ini dengan jernih: dari total APBD agregat seluruh provinsi sebesar 387,66 triliun rupiah pada 2024, 251,66 triliun rupiah—dua pertiga dari setiap rupiah yang masuk—habis untuk belanja operasi. Lebih spesifik lagi, 99,65 triliun rupiah disedot untuk belanja pegawai (gaji, tunjangan, honor), sementara hanya 51,88 triliun rupiah tersisa untuk belanja modal—pembangunan jalan, jembatan, pasar, dan infrastruktur publik yang seharusnya jadi tulang punggung ekonomi daerah.

Jika dewan direksi swasta menyetujui alokasi seperti ini, pasti ada penyelidikan fraud. Tapi di pemerintahan, ini diabaikan sebagai “kelaziman.”

 

Rapor Merah: Birokrasi Obesitas di Tiga Provinsi

Tiga provinsi menjadi poster anak untuk “Birokrasi Obesitas”: DKI Jakarta (83,73 persen), Papua (83,26 persen), dan Gorontalo (78,46 persen) mencurahkan porsi belanja operasi tertinggi ke gaji dan operasional. Artinya, di ketiga daerah ini, belanja modal—yang seharusnya menggerakkan ekonomi lokal—tertinggal jauh di belakang. Jakarta bisa diterima karena sudah terkoneksi infrastruktur; Papua dan Gorontalo, ironisnya, adalah daerah yang paling butuh pembangunan fisik, namun malah menjadi “feeding ground” birokrasi.

 

Sebaliknya, provinsi dengan belanja operasi lebih seimbang seperti Kalimantan Timur (45,63 persen), Papua Barat (48,16 persen), dan Sumatera Selatan (48,67 persen) menunjukkan komitmen lebih serius pada kapital: masing-masing mengalokasikan 23,80 persen, 15,29 persen, dan 11,95 persen untuk belanja modal. Mereka punya kepala untuk pertumbuhan, bukan hanya perut untuk konsumsi birokrasi.

Pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan: apakah rakyat Papua membutuhkan 14.000 PNS tambahan yang gajinya naik, atau mereka butuh jalan mulus ke pasar terdekat?

 

Rapor Biru, Surga Kontraktor di Kawasan Timur

Tidak semua daerah terjebak. Kalimantan Tengah (32,38 persen), Papua Barat Daya (31,60 persen), dan Kalimantan Selatan (26,66 persen) menunjukkan arah yang berbeda: mereka memprioritaskan belanja modal secara signifikan. Di wilayah ini, infrastruktur dibangun. Ini adalah “Entrepreneurial State”—daerah yang mengerti bahwa pertumbuhan ekonomi datang dari jalan, jembatan, dan pasar, bukan dari seminar dinas dan acara peresmian.

 

Namun siapa sebenarnya yang untung? Kontraktor lokal tentu saja. Data ini tidak membedakan antara belanja modal “produktif” (jalan kota yang mengubah pola perdagangan) dengan proyek “vanity” (stadion yang kosong sepi). Tetap saja, porsi 32 persen untuk kapital menunjukkan keberanian untuk memilih pertumbuhan atas konsumsi rutin.

Bandingkan dengan Jawa Barat (5,95 persen), Jawa Tengah (6,37 persen), dan Jawa Timur (6,68 persen)—tiga provinsi terbesar Indonesia—yang nyaris tidak ada investasi di infrastruktur baru. Mereka hidup dari inertia ekonomi historis, bukan dari pembangunan dinamis. Ini adalah risiko tersembunyi: ketika infrastruktur lama mengalami penurunan, tidak ada yang mengganti.

 

Kuantitas Belanja vs. Kualitas, Seminar Lebih Penting dari Aspal

Data BPS tidak memisahkan “belanja barang dan jasa” menjadi detail: berapa yang untuk perjalanan dinas, rapat, dan seminar, versus berapa untuk pemeliharaan jalan dan perawatan fasilitas publik? Tetapi indikator tersembunyi ada di sini: belanja barang dan jasa sebesar 107,21 triliun rupiah (28,23 persen) hampir setara dengan belanja pegawai 99,65 triliun rupiah (26,24 persen).

Itu berarti daerah menghabiskan uang hampir sama banyak untuk menggerakkan birokrasi (gaji) dan untuk operasinya (perjalanan, ATK, rapat). Jika belanja barang dan jasa tumbuh lebih cepat dari belanja modal, itu pertanda: pengguna anggaran lebih suka makan bersama di hotel bintang lima daripada memperbaiki saluran air yang bolong.

Outlook 2025 memperkuat kekhawatiran ini: belanja pegawai diproyeksikan naik menjadi 30,24 persen (dari 26,24 persen), sementara belanja modal hanya meningkat tipis menjadi 14,22 persen (dari 13,66 persen). Artinya, prioritas tetap sama: lebih banyak orang pada gaji yang sama atau lebih tinggi. Rakyat tidak butuh seminar lintas provinsi. Rakyat butuh jalan yang tidak berlubang.

 

Anggaran Defisit 2025, Bendera Merah

Data paling mengkhawatirkan: realisasi 2024 menunjukkan surplus 7,85 triliun rupiah (rasio belanja/pendapatan 97,97 persen), namun anggaran 2025 diproyeksikan defisit dengan rasio 102,44 persen. Ini sinyal bahwa pemerintah pusat mulai “mengamankan” diri, mengurangi transfer ke daerah (dari 44,75 persen menjadi 46,45 persen dari total pendapatan—terlihat kontradiktif, tapi itu karena PAD juga dipangkas). Daerah akan dipaksa memilih: potong gaji atau potong belanja modal?

Taruhan saya: belanja modal yang potong. Karena political cost potong gaji lebih tinggi, dan hasil belanja modal tidak terlihat sampai 3-5 tahun. Gubernur lima tahun tidak peduli masalah tahun ke-10.

 

Perbandingan Pengusaha vs. Event Organizer

Dua kategori daerah muncul: (1) Entrepreneurial State seperti Kalimantan Tengah dan Papua Barat Daya, yang berani mengambil risiko pembangunan untuk pertumbuhan jangka panjang; (2) Event Organizer, mayoritas di Pulau Jawa, yang mengelola anggaran seperti pengurusan pernikahan—habis untuk vendor (gaji PNS, biaya rapat), minimal untuk investasi nyata.

Data menunjukkan yang pertama sedang membangun jalan menuju masa depan, yang kedua sedang mengorganisir acara seremonial tahunan dengan budget yang semakin membengkak. Investor luar akan tahu mana yang lebih aman: daerah dengan 30 persen capex atau daerah dengan 6 persen?

Rakyat sudah tahu. Mereka naik mobil di jalan rusak sambil mendengarkan bahwa anggaran tahun ini habis untuk “pembangunan SDM.”

Tidak ada yang salah dengan SDM. Tetapi SDM tanpa infrastruktur adalah tenaga kerja yang frustrasi, dan infrastruktur tanpa SDM adalah jembatan yang sepi. Indonesia memilih keduanya—dan hasilnya, keduanya tidak optimal.

Jejak Lansia Sultan di Indonesa

Artikel sebelumnya

Baca Juga