JAKARTA – Di atas kertas, Indonesia boleh membusungkan dada. Data terbaru Profil Statistik Kesehatan 2025 menunjukkan angka yang seolah menenangkan: 78,04% penduduk negeri ini sudah memiliki jaminan kesehatan. Mayoritas dari mereka, sekitar 73,98%, menggenggam kartu sakti bernama BPJS Kesehatan. Narasi yang kerap didengungkan adalah “tak ada lagi orang miskin yang dilarang sakit”.
Namun, realitas di lapangan kerap kali menampar klaim statistik tersebut. Jika jaminan kesehatan sudah sedemikian masif, mengapa ruang tunggu rumah sakit masih terasa seperti medan perang bagi dompet rakyat?
Ironi ini terpampang nyata dalam data pengeluaran kita. Sementara cakupan asuransi meluas, rata-rata pengeluaran kesehatan per kapita justru mendaki terjal. Pada tahun 2025, total pengeluaran kesehatan per kapita menyentuh angka Rp39.837 per bulan, naik signifikan dari Rp31.445 pada dua tahun sebelumnya. Kenaikan ini bukan sinyal kemakmuran, melainkan alarm bahwa kartu JKN di dompet belum sepenuhnya menjadi tameng dari gempuran biaya medis. Kita seolah terlena dengan ilusi cakupan semesta, padahal struk pembayaran di kasir rumah sakit masih mencetak angka yang membuat dahi berkerut.
Yang Kaya Makin Boros, Yang Miskin Dilarang Sakit
Mari kita bedah apa yang sebenarnya terjadi di balik angka-angka makro tersebut. Inti persoalan ada pada Out-of-Pocket (OOP) Expenditure—uang tunai yang harus keluar dari kantong pribadi saat berobat karena tidak ditanggung (atau enggan ditanggung) oleh asuransi.
Data berbicara brutal. Rata-rata OOP kesehatan penduduk pada 2025 mencapai Rp20.018 per bulan. Sekilas angka ini kecil, setara harga satu porsi nasi padang. Tapi iblis selalu ada dalam detail ketimpangan.
Disparitas belanja kesehatan antara si kaya dan si miskin sangatlah mencolok, bahkan bisa dibilang tidak bermoral. Penduduk di Kuintil 5 (kelompok terkay) rata-rata merogoh kocek hingga Rp55.601 per bulan untuk biaya kesehatan mandiri. Bandingkan dengan saudara kita di Kuintil 1 (termiskin) yang hanya mampu mengeluarkan Rp5.158—kurang dari sepersepuluhnya.
Apakah ini berarti orang kaya lebih sering sakit? Belum tentu. Angka ini menyiratkan bahwa bagi si miskin, biaya Rp5.000 itu mungkin hanya cukup untuk membeli obat warung pereda nyeri, sekadar menunda sakit menjadi parah. Sementara si kaya memiliki disposable income untuk mengakses layanan kuratif swasta yang lebih nyaman.
Data memperkuat dugaan ini: belanja kesehatan kita masih sangat bias pada “pengobatan” (Curative) ketimbang “pencegahan” (Preventif). Dari total OOP, Rp11.495 habis untuk biaya kuratif, sedangkan preventif hanya mendapat porsi Rp4.625. Kita adalah bangsa yang baru mau bayar saat sudah jatuh sakit, bukan untuk menjaga agar tetap sehat.
Jika BPJS sudah universal, kenapa kebocoran biaya mandiri ini masih terjadi? Jawabannya ada pada ketidakpercayaan dan hambatan akses yang memaksa kelas menengah-atas untuk “kabur” ke layanan berbayar, sementara kelas bawah pasrah dengan obat seadanya.
Kesehatan vs Kenduri, Prioritas yang Terbalik
Sering kali kita mendengar keluhan bahwa “sehat itu mahal”. Tapi, benarkah kita tidak punya uang, atau prioritas kita yang sungsang?
Mari kita sandingkan data pengeluaran kesehatan dengan pos pengeluaran lain yang sifatnya kultural. Data Susenas 2025 menyajikan fakta yang menohok: rata-rata pengeluaran per kapita untuk “Keperluan Pesta dan Upacara/Kenduri” mencapai Rp64.711 sebulan.
Baca kalimat itu sekali lagi. Kita rela membakar uang hampir dua kali lipat lebih banyak untuk pesta dan kenduri (Rp64.711) dibandingkan untuk biaya kesehatan langsung (Rp39.837) atau bahkan tiga kali lipat dari biaya kesehatan yang kita bayar dari kantong sendiri (Rp20.018).
Ini adalah sarkasme ekonomi yang sempurna. Kita lebih takut dianggap pelit saat hajatan tetangga daripada takut tidak punya dana darurat saat penyakit katastropik menyerang. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga kita, gengsi sosial tampaknya memiliki valuasi yang lebih tinggi daripada nyawa itu sendiri.
Akses dan Fasilitas “Gratis” tapi Antre
Di sisi suplai (supply side), data 2025 menyingkap tabir gelap pelayanan publik kita. Ada fenomena Latent Demand yang berbahaya. Persentase penduduk yang memiliki keluhan kesehatan terus naik (28,31%), namun yang memutuskan untuk berobat jalan hanya 39,64%. Ke mana sisanya?
Sebanyak 66,88% memilih mengobati sendiri. Ini bukan sekadar soal kemandirian, ini adalah gejala ketidakpercayaan atau ketidakmampuan menembus birokrasi kesehatan.
Bagi mereka yang mencoba menggunakan fasilitas JKN/BPJS, rintangan birokrasi masih menjadi momok. Data khusus wanita usia subur (15-49 tahun) yang tidak menggunakan JKN saat berobat memberikan petunjuk krusial:
- 34,20% mengeluhkan waktu tunggu pelayanan yang lama/antrean panjang.
- 11,90% tidak jadi berobat karena tidak ada petugas.
- 6,53% menyerah karena prosedur/persyaratan yang sulit dipenuhi.
Ini adalah bom waktu. “Gratis” menjadi tidak ada artinya jika biaya peluang (opportunity cost) untuk mendapatkannya adalah harus membuang waktu seharian hanya untuk antre tensi darah. Bagi buruh harian lepas, antre seharian di Puskesmas berarti kehilangan pendapatan hari itu. Maka, tidak heran jika opsi “beli obat di warung” menjadi pilihan rasional secara ekonomi, meski fatal secara medis.
Vonis dan Jebakan Kelas Menengah
Kesimpulannya, laporan Profil Statistik Kesehatan 2025 mengirimkan sinyal bahaya yang nyaring. Narasi “kesehatan gratis” adalah ilusi bagi sebagian besar rakyat.
Kelompok paling rentan saat ini bukanlah si miskin yang ditanggung negara sepenuhnya, melainkan Kelas Menengah. Mereka terlalu “kaya” untuk mendapatkan Bansos PBI, tapi terlalu “miskin” jika dihadapkan pada penyakit katastropik yang membutuhkan biaya tambahan di luar plafon atau obat non-formularium.
Jika pemerintah tidak membereskan inefisiensi supply side (ketersediaan obat, antrean, dan kualitas layanan), bonus demografi yang kita banggakan akan berubah menjadi beban demografi: sekumpulan manusia usia produktif yang sakit-sakitan, dengan dompet yang bocor di lorong-lorong rumah sakit.
Indonesia Emas 2045 tidak bisa dicapai oleh bangsa yang sibuk mengantre obat dan tekor membayar biaya sehat.








