Membedah Kasta Ekonomi Petani 2025

JAKARTA – Realitas pertanian Indonesia sering kali tersembunyi di balik satu kata benda yang menyesatkan: “petani”. Kata ini seolah menggambarkan satu kelompok manusia yang senasib sepenanggungan, padahal di lapangan, jurang pemisah antar-mereka bisa selebar samudra. Ada petani di Riau yang baru saja melunasi cicilan mobil pikap berkat harga tandan buah segar sawit yang sedang manis. Di saat bersamaan, ada peternak di Blitar yang sedang pusing tujuh keliling karena harga telur di kandang jatuh, sementara harga jagung pakan meroket. Di atas kertas statistik nasional, nasib keduanya dilebur menjadi satu angka rata-rata yang cantik: NTP 124,36. Pejabat menyebutnya bukti kesejahteraan, tetapi bagi mereka yang berada di sisi margin tipis, angka itu terasa seperti ejekan halus.

Inilah wajah asli pertanian kita yang kerap luput dari pidato kenegaraan. Sektor ini bukanlah entitas tunggal yang seragam, melainkan sebuah struktur kasta ekonomi yang tak kasat mata. Ada kelas bonanza yang menikmati rezeki pasar global, ada kelas penyangga yang dijaga agar sekadar cukup makan demi stabilitas pangan nasional, dan ada kelas rentan yang hidup di tepi jurang kebangkrutan setiap bulannya. Membaca Nilai Tukar Petani (NTP) tanpa membedah kelas-kelas ini sama naifnya dengan mengukur kesehatan satu kampung hanya dengan memeriksa tekanan darah kepala desanya.

Untuk memahami nasib mereka secara jujur, statistik BPS perlu dibelah menjadi empat kamar yang terpisah. Pertama adalah tanaman pangan, para penjaga perut bangsa yang menanam padi dan jagung dengan jumlah massa paling masif namun lahan paling sempit. Kedua adalah perkebunan rakyat, para pemain komoditas ekspor seperti sawit, karet, dan kopi. Ketiga adalah hortikultura, petani yang kerap terjebak dalam perjudian musim tanam cabai dan bawang. Terakhir adalah peternakan, pengusaha margin tipis yang nasibnya sangat bergantung pada harga pakan pabrikan. Rapor mereka di tahun 2025 menunjukkan cerita yang sangat kontras.

Data BPS September 2025 tidak bisa menyembunyikan fakta siapa yang sedang berpesta dan siapa yang hanya menonton. Di puncak piramida kesejahteraan, bertengger subsektor perkebunan rakyat. Dengan NTP menembus angka 159,77, mereka adalah raja tahun ini. Harga global yang kuat untuk CPO dan kakao membuat daya beli mereka melonjak jauh di atas biaya hidup. Kelompok ini adalah bukti hidup bahwa bertani bisa membuat kaya raya, asalkan komoditasnya tepat dan pasarnya terhubung ke rantai pasok global.

Sumber: BPS: Berita Resmi Statistik Perkembangan Nilai Tukar Petani menurut Subsektor (Agustus–September 2025) | BPS: Laporan NTUP (Nilai Tukar Usaha Petani) menurut Subsektor, 2025 | Kementerian Pertanian/Asosiasi: Data harga komoditas sawit, pakan ternak, dan hortikultura (2024-2025).

Di lapisan tengah, subsektor tanaman pangan mencatatkan NTP 113,95. Angka ini tergolong aman, tetapi jauh dari kata istimewa. Meski harga gabah membaik, kenaikan biaya sewa lahan dan pupuk non-subsidi terus membayangi. Petani di sektor ini hidup dalam siklus pengabdian setengah sukarela untuk ketahanan pangan nasional: mereka dijaga agar tidak mati, tetapi jarang dibiarkan benar-benar kaya karena harga beras harus tetap murah bagi konsumen perkotaan.

Sementara itu, di dasar piramida, subsektor peternakan terengah-engah dengan NTP hanya 101,99—nyaris menyentuh garis impas 100. Kenaikan harga pakan, yang komponen utamanya sering kali impor, menggerus hampir seluruh keuntungan dari kenaikan harga daging atau telur. Bagi peternak, rekor nasional NTP 124 itu tak ubahnya fatamorgana; realitas harian mereka adalah pertarungan untuk sekadar tidak merugi. Nasib serupa, meski dengan pola berbeda, dialami petani hortikultura. Mereka adalah penumpang wahana roller coaster: di bulan Juli NTP mereka terbang tinggi, tapi di Agustus jatuh bebas hingga minus 6,21 persen hanya karena panen raya tomat dan cabai. Bagi kelompok ini, kesejahteraan hanya bertahan sepanjang umur simpan sayuran yang pendek dan mudah busuk.

Kesenjangan nasib ini bukan kebetulan semata, melainkan hasil dari struktur ekonomi yang timpang. Petani sawit relatif nyaman karena terhubung langsung ke industri global yang haus bahan baku. Meski posisi tawar mereka di hadapan pabrik tidak selalu kuat, kue ekonomi sawit cukup besar untuk meneteskan keuntungan yang layak. Sebaliknya, peternak mandiri terjepit di antara dua raksasa: di hulu membeli pakan dari pabrikan besar penentu harga, di hilir menjual ke pasar yang sangat sensitif. Tanpa kendali atas input maupun output, mereka terjebak dalam margin tipis struktural. Petani hortikultura lebih parah lagi, tersandera oleh ketiadaan rantai dingin yang memadai, memaksa mereka menjual murah saat panen raya dengan posisi tawar terlemah: jual sekarang atau busuk besok.

Maka ketika pemerintah berdiri di podium dan mengumumkan NTP rekor tertinggi sebagai bukti keberhasilan swasembada, publik perlu bertanya kritis: keberhasilan siapa? Klaim itu valid untuk pekebun sawit di Sumatera atau Kalimantan. Namun bagi peternak ayam di Jawa atau petani tomat di Bali yang membuang hasil panen ke jalan, klaim itu terdengar tuli nada. Menyamaratakan semua petani dalam satu angka agregat adalah cara termudah melupakan mereka yang tertinggal. Di balik pesta pora angka 124, jutaan peternak dan petani gurem sebenarnya tidak ikut menikmati kue tersebut; mereka hanya penonton yang kebetulan dihitung dalam sensus yang sama.

Sudah saatnya berhenti melihat petani sebagai satu blok raksasa yang seragam. Kebijakan satu ukuran untuk semua tidak akan pernah efektif. Subsidi pupuk mungkin menolong petani padi, tapi tidak relevan bagi peternak yang tercekik harga jagung. Program peremajaan sawit bagus untuk Riau, tapi tidak berguna bagi petani cabai Brebes yang butuh gudang pendingin. Jika tujuan akhirnya adalah pertanian yang mensejahterakan secara adil, retakan di balik angka rata-rata harus dilihat dengan jernih. Ketahanan pangan nasional yang sejati tidak mungkin dibangun di atas punggung peternak yang bangkrut atau petani sayur yang frustasi, betapapun cantiknya angka NTP nasional di atas kertas.

Petani Sejahtera Itu Mitos

Artikel sebelumnya

Baca Juga